Tuesday 4 March 2014

"Yang Maha Lain"

Amsal adalah bagian kegelapan bahasa,
kata-kata yang dilindungi cadar,
agar makna tak ditaklukkan cahaya langsung kebenaran
(Goenawan Mohamad, 2008:45)


Adakah yang keliru, ketika Yang Maha Kudus dibayangkan hadir sebagai tidak semata “Kalam,” yang mengalir lirih dari senyap ke bunyi, bunyi ke aksara, dari aksara menyusur pada sebatang anak sungai literasi yang beku, lalu dikukuhkan dalam Kitab? Demikianlah, tradisi nubuat adalah kisah yang aneka: amsalkan warna, menggelombang pekat dengan tempias prisma, tapi bersumbu pada Cahaya Tunggal.

Dan, agama selalu saja bermula pada Yang Maha Lain, yang numinous, yang dalam selarik gagas Rudolf Otto diungkapkan sebagai misterium terribile et fascinans. Misterium, sebab merengkuh gelap-terang yang saling bertukar-tangkap. Terribile karena ia hadir sebagai sengatan kejut-getir yang dahsyat. Fascinans sebab ia membersitkan pesona rindu tak tercakapkan. Setiap kebenaran yang hadir dalam sejarah, memperlihatkan momen terpuncak, tapi unik: Buddha di bawah Pohon Bodh Gaya, Ibrahim dalam Jilatan Api, Musa di Puncak Sinai, Yesus diatas Bukit, dan Muhammad di Gua Hira.

Siddharta Gautama—dari Zaman Aksial yang jauh—memulai pencarian dengan langkah pasti: pergi dalam diam, berangkat tanpa pamit, meninggalkan istana dan kemewahan hidup, memenuhi panggilan nirvana. Ia menuju ke pusat “diri” yang sejauh ini terbekuk semu. Pencarian pada sebilah eksistensi, “yang tidak bergantung pada yang lain, bercacat, dan nisbi.” Sesuatu yang tak dilipat kefanaan. Atau dalam ungkapan Siddharta sendiri, “tidak lahir dalam cara yang biasa, yang tidak pernah diciptakan, dan tidak baharu.” Dan Sang Buddha menemukan puncak-terdalam, sunyata.

Kisah Pencarian tidak berakhir pada Sang Buddha. Ibrahim juga ‘mengelana’ menyingkap rahasia Tuhan dalam hanif. Ia, yang tengah disuluh pengetahuan yang bersilang dari kaumnya, menggaris jalan baru untuk arus keyakinannya yang sublim. Konstruksi Tuhan, yang sejauh ini dililit simulakrum dan imperium tanda, dilumatkan: berhala yang terhimpun dalam kuil umatnya, dihancurkan. Matahari, gemintang, dan bulan pun ditampik. Yang berlangsung di sana sesungguhnya tidak semata penghancuran lempung benda-benda dan tanda, tapi juga mengguyahkan “iman” umatnya yang sejauh ini tersimpan rapi dalam pualam dingin. Sebab itu, Ibrahim ditangkap, diikat lalu dilempar ke dalam unggun penuh bara. Tapi dalam tragedi itulah, Tuhan jadi perihal yang tak terelakkan. Tuhan yang diwartakan Ibrahim, justru Hadir dalam Lidah Api yang menjilat. Namun api itu mengingkari qadarnya. Ia tak membakar. Ia takluk. Dan dalam kaji de Saussure, api itu adalah “signifier” bahwa “Tuhan hadir bersama Ibrahim” (Q.s. 21:69).

Tapi manusia memang tak pupus dirundung tragedi. Tuhan pun tak menampakkan “wajahNya” di hadapan Musa yang terkepung oleh kabut asap, yang lahir dari nyala cahaya api. Serumpun rimbun pun benderang tapi tak terbakar. Seketika Musa, dengan kaki yang berkasut berhenti. Ia tak diberi izin. Dan bukit Sinai berguncang. Sebilah suara kudus mengalir lirih: “Wahai Musa! Aku ini adalah Tuhanmu. Maka tanggalkanlah kedua kasutmu. Sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Thuwah. Dan Aku telah memilihmu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku...” (Q.s. 20:12-14). Musa merengkuh sepenuhnya titah Tuhan. Dan kesepuluh Titah terpahatkan pada Loh.

Tragedi “kabut” Musa, kelak Dionisius menyebutnya sebagai pengalaman “Yang Ilahi” dan tak tercakapkan: Dia “yang tersembunyi”—Deus Absconditus. Setiap ikhtiar menyingkapNya, dalam bahasa pilihan apapun, selalu mengandung paradoks. Sebab itu, Dionisius menyebut kondisi itu dengan, “benderang gelapnya kesunyian yang tersembunyi” (the brilliant darkness of a hidden). Memasuki perjumpaan dengan “Yang Ilahi” sebab itu, memasuki “kegelapan yang benderang”, kondisi di mana seseorang buta terhadap apa yang dilihatnya, tapi dalam kebutaannya justru menemukan pencerahan yang benderang.

Iman, Tuhan, dan sejarah bukanlah sebuah arus sepihak, tapi persilangan yang penuh kisah, tentu saja. Dan sejarah mewartakan bahwa Tuhan adalah episentrum: selalu saja ada gigil yang ganjil dalam rindu menemu Tuhan di setiap detak. “...ide manusia tentang Tuhan memiliki sejarah...gagasan itu selalu punya arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang mengostruknya di pelbagai penggalan waktu...” (Amstrong: 2011;21). Dan kita tahu, tafsir menjadi lalu lintas paham yang tak sedikit menerbitkan silap. Mungkin sebab itu, kita sering menemukan ada selisih dan sengketa dalam praktik berTuhan. Ada amuk dan perang atas nama Tuhan. Radikalisme agama, lalu jadi dalil dalam tindak pemusnahan kemanusiaan.

Dan pada akhirnya, “yang menyangka ada jalan pintas dalam iman akan menemukan jalan buntu dalam sejarah” (Goenawan: 2008;41). Itu sebabnya, selalu ada misterium yang mengitariNya. Jangan-jangan, Tuhan masa depan—seperti lamat-lamat diakui dalam tulisan Amstrong—adalah Tuhan yang “dialami” kaum mistikus: Yang Maha Lain!


Penulis,


Mohd. Sabri AR

No comments:

Post a Comment