Sunday 2 March 2014

AKUNTABILITAS DALAM KEPEMIMPINAN AKADEMIS



“Akuntabilitas dalam Kepemimpinan Akademik”, seperti itulah tertulis di spanduk yang terpampang nyata sebelum masuk di pintu Aula Prof. Mattulada. Sebuah tema dalam dialog yang dilaksanakan pada hari Senin, 24 Februari 2014 diinisiasi oleh dosen-dosen Fakultas Sastra, karena kekhawatirannya terhadap kepemimpinan di Fakultas Sastra. Munculnya krisis kepemimpinan di birokrasi kampus melatar belakangi terselenggaranya kegiatan ini. Para dosen yang tergabung dalam aliansi ini, menjadikan kegiatan ini sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi dan penolakan terhadap sistem kepemimpinan yang diterapkan oleh pimpinan fakultas. Mereka menganggap bahwa cara ini merupakan bentuk protes yang bermartabat dan beradab. Akan tetapi, sayang seribu sayang kegiatan ini tidak dihadiri oleh salah satu perwakilan dari pimpinan fakultas, sehingga sedikit mengundang kekecewaan dari sebagian audiens yang hadir saat itu.
Dialog yang dilaksanakan kurang lebih tiga jam ini, menghadirkan Dr. Mardi Adi Armin, M.Hum sebagai moderator untuk memandu jalannya dialog. Selain itu, menghadirkan pula budayawan tenar di kota Daeng ini, yaitu Ayahanda Drs. Ishak Ngeljaratan, M.S., beliau adalah mantan dosen senior di Fakultas Sastra. Hadir pula pembicara kedua, bapak Prof. Sadly, AD., M.PA., beliau adalah mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Sekarang beliau telah menjabat sebagai Rektor Universitas Fajar Makassar. Moderator kemudian memberikan kesempatan pertama kepada Prof. Sadly, AD., M.PA. untuk menyampaikan beberapa gagasannya berkaitan dengan sistem kepemimpinan di birokrasi kampus. Ada beberapa hal yang menjadi pokok bahasan yang disampaikan beliau dalam gagasannya, bahwa university government sangat dibutuhkan sikap akuntabilitas dan transparansi. Ketika kedua hal ini, telah dimiliki oleh seorang pemimpin di dunia kampus maka akan terwujud sebuah kepemimpinan tranformasional. Beberapa tanda ketika pimpinan universitas, fakultas, dan jurusan telah memiliki sikap ini maka: (1)mereka akan membumi menyatu dengan bawahannya, (2)tidak memokuskan perhatian terhadap satu orang saja (atensi). (2) mendorong bawahan untuk berkembang agar dapat tercerdaskan dan menghasilkan hal-hal yang inovatif.
Bapak Prof. Sadly, AD., M.PA. juga menyampaikan gagasan berdasarkan pengalamannya selama menjadi pimpinan universitas dan fakultas. Beliau mengatakan bahwa kepemimpinan dalam lingkungan kampus dibutuhkan juga sistem evaluasi, minimal dua kali satu tahun. Evaluasi ini dimaksudkan untuk membenahi kekurangan-kekurangan yang dilakukan oleh pimpinan universitas, fakultas dan jurusan. Sehingga ke depannya dapat dilakukan perbaikan. Beliau juga mengungkapkan bahwa jangan pernah takut untuk dikritisi, karena kritikan itulah menjadi bahan seorang pemimpin untuk membenahi kekurangan selama priode kepemimpinannya. Selain itu, evaluasi bukan untuk menjatuhkan tetapi menjadi pondasi dalam melakukan hal-hal inovatif ke depannya. Di samping itu, evaluasi yang dilakukan bukan hanya menghadirkan anggota senat universitas atau fakultas, tetapi semua elemen yang terkait di dalamnya harus dilibatkan termasuk para dosen dan mahasiswa. Mahasiswa dilibatkan dalam evaluasi ini, karena mahasiswalah yang sangat paham dan mengalami kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh pimpinan fakultas. Sehingga, sangat dibutuhkan aspirasi dan gagasan-gagasan mahasiswa. Hal ini juga bertujuan untuk, mengader mahasiswa sebagai calon pemimpin dimasa akan datang.
Gagasan-gagasan yang disampaikan bapak  Prof. Sadly, AD., M.PA. mengundang tepuk tangan yang sangat meriah dari para audiens, sungguh sistem kepemimpinan yang sangat ideal. Moderator kemudian mempersilahkan Ayahanda Drs. Ishak Ngeljaratan, M.S. menyampaikan gagasan-gagasannya. Di dalam tulisannya beliau mengatakan bahwa “akuntabilitas” punya kaitan erat dengan “kebebasan manusia”. Adanya kebebasan manusia ditandai oleh adanya pilihan-pilihan yang diambil oleh manusia untuk bertindak ke depan. Singakatnya, dimana ada pilihan, disitu ada ikatan pada apa yang sudah dijadikan pilihan. Ikatan pada pilihan oleh subjek, yang menentukan pilihan itu secara sadar dan bebas, sama dengan tanggung jawab (responsibility). Jika tanggung jawab (responsibility) itu melibatkan kepentingan orang lain, maka tanggung jawab itu disamakan dengan akuntabilitas (accountability). Seorang pemimpin yang bertanggung jawab harus mampu menjawab “mengapa” dia memilih “ini” dan bukan “itu” secara “terang benderang”. Karena itu, akuntabilitas selalu bersifat tansparan (transparent). Jika pilihan salah atau benar, maka dialah yang bertanggung jawab atas kesalahan atau kebenaran dari pilihannya.
Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa seorang pemimpin itu harus punya sikap integritas dari sejumlah sifat-sifat keilahian (divine quality). Sebagai seorang yang berakal budi , seorang pemimpin harus terus menerus memperluas pengetahuannya (knowledge) dan memperdalam wawasannya (insight) untuk meningkatkan kompetensi rasional dalam dirinya. Sehingga seorang pemimpin harus terus berusaha membudidayakan pengetahuannya, bukan hanya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga bagi manusia dan kemanusiaan.
Selanjutnya, beliau mempertegas tentang sikap keseimbangan rasio dengan nurani yang meski dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena menurut beliau, Meskipun seorang pemimpin memiliki kualitas atau kompetensi rasional, akan nihil hasilnya ketika tidak diimbangi dengan kompetensi moral. Seorang pemimpin harus memiliki akhlak yang mulia, dalam budaya Bugis-Makassar, dikenal dengan sifat rasa malu dan tanggung jawab untuk menjaga harga dan kehormatan dirinya sebagai manusia dan pemimpin. Sehingga, harga diri yang dibentengi dengan baik dan efektif akan mengundang masyarakat untuk memilihnya sebagai pemimpin. Dipilihnya dia oleh masyarakat sebagai pemimpin berarti masyarakat ingin memikulkan harga diri mereka sebagai tambahan beban mulia pada dirinya sebagai pemimpin yang sudah berhasil menjaga harga dirinya sendiri. Beban harga dirinya bertambah berat ketika harga diri masyarakat dibebankan dipundaknya. Masyarakat, yang sadar akan beratnya beban tambahan pada pemimpinnya, dengan ikhlas dan penuh sayang “mengusung” atau menggotong pemimpinnya secara ramai-ramai. Namun, jika harga diri pemimpin tak mampu dijaga oleh sang pemimpin sehingga citra harga diri masyarakat turut tercemar, maka sang pemimpin pun dipental keluar oleh masyarakat dari usungan jika tak sadar dan siap untuk mengundurkan diri secara ikhlas.
Beberapa narasumber telah mengutarakan gagasan-gagasannya berkaitan dengan kepemimpinan di dunia kampus. Jika dilihat dari gagasan-gagasan di atas, ada banyak hal yang bisa menjadi bahan renungan dan evaluasi khususnya bagi para pemimpin di Fakultas Sastra. Berbenah dari awal merupakan langkah taktis untuk membenahi semua kekurangan-kekurangan selama ini, sikap ego mesti dihilangkan dan mengedepankan kepentingan fakultas di atas segalanya. Harapan terbesar dari seluruh civitas akademika Fakultas Sastra Universitas Hasnuddin adalah begaimana Fakultas Sastra bisa ditranspormasi ke Fakultas Ilmu Budaya, yang selama ini masih terkapar di rimbah raya, tidak diketahui dimana ujungnya. 

Penulis,
Makassar, 1 Maret 2014


Anaruddin

No comments:

Post a Comment