“Akuntabilitas
dalam Kepemimpinan Akademik”, seperti itulah tertulis di spanduk yang
terpampang nyata sebelum masuk di pintu Aula Prof. Mattulada. Sebuah tema dalam
dialog yang dilaksanakan pada hari Senin, 24 Februari 2014 diinisiasi oleh
dosen-dosen Fakultas Sastra, karena kekhawatirannya terhadap kepemimpinan di
Fakultas Sastra. Munculnya krisis kepemimpinan di birokrasi kampus melatar
belakangi terselenggaranya kegiatan ini. Para dosen yang tergabung dalam aliansi
ini, menjadikan kegiatan ini sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi dan
penolakan terhadap sistem kepemimpinan yang diterapkan oleh pimpinan fakultas.
Mereka menganggap bahwa cara ini merupakan bentuk protes yang bermartabat dan
beradab. Akan tetapi, sayang seribu sayang kegiatan ini tidak dihadiri oleh
salah satu perwakilan dari pimpinan fakultas, sehingga sedikit mengundang
kekecewaan dari sebagian audiens yang hadir saat itu.
Dialog
yang dilaksanakan kurang lebih tiga jam ini, menghadirkan Dr. Mardi Adi Armin,
M.Hum sebagai moderator untuk memandu jalannya dialog. Selain itu, menghadirkan
pula budayawan tenar di kota Daeng ini, yaitu Ayahanda Drs. Ishak Ngeljaratan,
M.S., beliau adalah mantan dosen senior di Fakultas Sastra. Hadir pula
pembicara kedua, bapak Prof. Sadly, AD., M.PA., beliau adalah mantan Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Sekarang beliau telah menjabat sebagai Rektor
Universitas Fajar Makassar. Moderator kemudian memberikan kesempatan pertama
kepada Prof. Sadly, AD., M.PA. untuk menyampaikan beberapa gagasannya berkaitan
dengan sistem kepemimpinan di birokrasi kampus. Ada beberapa hal yang menjadi
pokok bahasan yang disampaikan beliau dalam gagasannya, bahwa university government sangat dibutuhkan
sikap akuntabilitas dan transparansi. Ketika kedua hal ini, telah dimiliki oleh
seorang pemimpin di dunia kampus maka akan terwujud sebuah kepemimpinan
tranformasional. Beberapa tanda ketika pimpinan universitas, fakultas, dan jurusan
telah memiliki sikap ini maka: (1)mereka akan membumi menyatu dengan
bawahannya, (2)tidak memokuskan perhatian terhadap satu orang saja (atensi).
(2) mendorong bawahan untuk berkembang agar dapat tercerdaskan dan menghasilkan
hal-hal yang inovatif.
Bapak
Prof. Sadly, AD., M.PA. juga menyampaikan gagasan berdasarkan pengalamannya
selama menjadi pimpinan universitas dan fakultas. Beliau mengatakan bahwa
kepemimpinan dalam lingkungan kampus dibutuhkan juga sistem evaluasi, minimal
dua kali satu tahun. Evaluasi ini dimaksudkan untuk membenahi kekurangan-kekurangan
yang dilakukan oleh pimpinan universitas, fakultas dan jurusan. Sehingga ke
depannya dapat dilakukan perbaikan. Beliau juga mengungkapkan bahwa jangan
pernah takut untuk dikritisi, karena kritikan itulah menjadi bahan seorang
pemimpin untuk membenahi kekurangan selama priode kepemimpinannya. Selain itu,
evaluasi bukan untuk menjatuhkan tetapi menjadi pondasi dalam melakukan hal-hal
inovatif ke depannya. Di samping itu, evaluasi yang dilakukan bukan hanya
menghadirkan anggota senat universitas atau fakultas, tetapi semua elemen yang
terkait di dalamnya harus dilibatkan termasuk para dosen dan mahasiswa.
Mahasiswa dilibatkan dalam evaluasi ini, karena mahasiswalah yang sangat paham
dan mengalami kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh pimpinan fakultas.
Sehingga, sangat dibutuhkan aspirasi dan gagasan-gagasan mahasiswa. Hal ini
juga bertujuan untuk, mengader mahasiswa sebagai calon pemimpin dimasa akan
datang.
Gagasan-gagasan
yang disampaikan bapak Prof. Sadly, AD.,
M.PA. mengundang tepuk tangan yang sangat meriah dari para audiens, sungguh
sistem kepemimpinan yang sangat ideal. Moderator kemudian mempersilahkan
Ayahanda Drs. Ishak Ngeljaratan, M.S. menyampaikan gagasan-gagasannya. Di dalam
tulisannya beliau mengatakan bahwa “akuntabilitas” punya kaitan erat dengan
“kebebasan manusia”. Adanya kebebasan manusia ditandai oleh adanya
pilihan-pilihan yang diambil oleh manusia untuk bertindak ke depan.
Singakatnya, dimana ada pilihan, disitu ada ikatan pada apa yang sudah
dijadikan pilihan. Ikatan pada pilihan oleh subjek, yang menentukan pilihan itu
secara sadar dan bebas, sama dengan tanggung jawab (responsibility). Jika tanggung jawab (responsibility) itu melibatkan kepentingan orang lain, maka
tanggung jawab itu disamakan dengan akuntabilitas (accountability). Seorang pemimpin yang bertanggung jawab harus
mampu menjawab “mengapa” dia memilih “ini” dan bukan “itu” secara “terang
benderang”. Karena itu, akuntabilitas selalu bersifat tansparan (transparent). Jika pilihan salah atau benar,
maka dialah yang bertanggung jawab atas kesalahan atau kebenaran dari
pilihannya.
Selain
itu, beliau juga mengatakan bahwa seorang pemimpin itu harus punya sikap
integritas dari sejumlah sifat-sifat keilahian (divine quality). Sebagai seorang yang berakal budi , seorang
pemimpin harus terus menerus memperluas pengetahuannya (knowledge) dan memperdalam wawasannya (insight) untuk meningkatkan kompetensi rasional dalam dirinya.
Sehingga seorang pemimpin harus terus berusaha membudidayakan pengetahuannya,
bukan hanya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga
bagi manusia dan kemanusiaan.
Selanjutnya,
beliau mempertegas tentang sikap keseimbangan rasio dengan nurani yang meski
dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena menurut beliau, Meskipun seorang
pemimpin memiliki kualitas atau kompetensi rasional, akan nihil hasilnya ketika
tidak diimbangi dengan kompetensi moral. Seorang pemimpin harus memiliki akhlak
yang mulia, dalam budaya Bugis-Makassar, dikenal dengan sifat rasa malu dan tanggung
jawab untuk menjaga harga dan kehormatan dirinya sebagai manusia dan pemimpin.
Sehingga, harga diri yang dibentengi dengan baik dan efektif akan mengundang
masyarakat untuk memilihnya sebagai pemimpin. Dipilihnya dia oleh masyarakat
sebagai pemimpin berarti masyarakat ingin memikulkan harga diri mereka sebagai
tambahan beban mulia pada dirinya sebagai pemimpin yang sudah berhasil menjaga
harga dirinya sendiri. Beban harga dirinya bertambah berat ketika harga diri
masyarakat dibebankan dipundaknya. Masyarakat, yang sadar akan beratnya beban
tambahan pada pemimpinnya, dengan ikhlas dan penuh sayang “mengusung” atau
menggotong pemimpinnya secara ramai-ramai. Namun, jika harga diri pemimpin tak
mampu dijaga oleh sang pemimpin sehingga citra harga diri masyarakat turut
tercemar, maka sang pemimpin pun dipental keluar oleh masyarakat dari usungan
jika tak sadar dan siap untuk mengundurkan diri secara ikhlas.
Beberapa
narasumber telah mengutarakan gagasan-gagasannya berkaitan dengan kepemimpinan
di dunia kampus. Jika dilihat dari gagasan-gagasan di atas, ada banyak hal yang
bisa menjadi bahan renungan dan evaluasi khususnya bagi para pemimpin di
Fakultas Sastra. Berbenah dari awal merupakan langkah taktis untuk membenahi
semua kekurangan-kekurangan selama ini, sikap ego mesti dihilangkan dan
mengedepankan kepentingan fakultas di atas segalanya. Harapan terbesar dari
seluruh civitas akademika Fakultas Sastra Universitas Hasnuddin adalah
begaimana Fakultas Sastra bisa ditranspormasi ke Fakultas Ilmu Budaya, yang selama
ini masih terkapar di rimbah raya, tidak diketahui dimana ujungnya.
Penulis,
Makassar, 1 Maret 2014
Anaruddin
No comments:
Post a Comment