Saturday 14 November 2015

Membaca, Menulis adalah Kebutuhan



“Membaca, Menulis adalah Kebutuhan”
By: Anaruddin
Ada yang pernah mengatakan bahwa “jika engkau ingin menggenggam dunia maka perbanyaklah membaca dan jika engkau ingin dikenang maka perbanyaklah menulis”. Ungkapan ini bukan hanya sekedar pesan biasa, akan tetapi mengandung makna yang mendalam. Tanpa membaca seseorang  tidak akan mampu mengembangkan cakrawala berpikirnya. Dipahami bersama bahwa sumber ilmu pengetahuan yang ada saat ini, semuanya berasal dari hasil bacaan. Oleh karena itu, salah satu jalan untuk memahami sebuah ilmu pengetahuan adalah dengan cara membaca. Begitu juga sebaliknya, jika ingin dikenang sepanjang khayatnya, seseorang harus meninggalkan jejak-jejak mereka dalam bentuk tulisan. Sejarah telah membuktikan, Aristoteles dikenang oleh masyarakat luas sebagai bapak logika karena tulisannya, Ibnu Sina dikenang sebagai bapak dokter muslim karena tulisannya, Imam Al-Ghazali dikenang sebagai ulama besar karena tulisannya, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh di dunia ini yang meninggalkan rekam jejaknya dalam bentuk tulisan.
Tradisi membaca bukan lagi menjadi barang baru, tetapi ibaratnya telah menjadi bagian terpenting dalam hidup manusia. Seseorang pernah mengungkapkan bahwa membaca adalah termasuk kebutuhan pokok. Seperti halnya kebutuhan makanan, jika tidak terpenuhi maka seseorang akan merasa lapar. Karena perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju, seseorang kemudian dituntut bahkan sangat dipaksa untuk membaca literatur demi memperbaharui pengetahuannya.
Muncul kemudian persoalan yang penting untuk dibahas berkaitan dengan daya baca dan tulis masyarakat Indonesia. Ada anggapan bahwa entitas masyarakat Indonesia yang gemar membaca dan pintar menulis sudah mengalami degradasi. Masalah itu, merambah sampai pada anak muda. Hal ini terbukti dari cara berpikir mereka yang menganggap bahwa membaca dan menulis hanya sekadar pengisi waktu luang.
Mahasiswa atau dalam artian sekarang adalah pemuda, dari dahulu hingga sekarang pemuda dikenal sebagai masa depan bangsa. Ditangan pemuda tergenggam wajah-wajah bangsa yang cemerlang. Pemuda adalah agent of change, social of control, dan moral force. Berbeda dengan kondisi sekarang yang mindset mereka digerus oleh perkembangan teknologi yang semakin maju secara pesat. Munculnya banyak fasilitas teknologi menyebabkan mahasiswa semakin manja untuk berpikir. Misalnya, beragam fasilitas jejaring sosial seperti Blackberry messenger, facebook, twitter, line, instagram, path  dan masih banyak lagi. Mereka biasanya lebih lama menghabiskan waktu di depan komputer, dan gadget daripada membaca buku atau bacaan-bacan yang bersifat membangun. Begitu juga para mahasiswa lebih sering menulis status (baca; isi pikiran,posisi) mereka di akun twitter dan facebook (sosial media) daripada menulis hal-hal yang bermanfaat berkaitan dengan keilmuan. Bayangkan ketika status (baca; isi pikiran, posisi) yang sering di-posting ditulis kemudian disatukan dalam satu cerita, bisa saja menjadi sebuah karya sastra. Misalnya, cerita yang disusun dalam bentuk cerpen atau novel. Tapi sayang seribu sayang tulisan tersebut hanya dilampiaskan  diakun jejaring sosial mereka, cerita itu hanya dibiarkan berlalu begitu saja.
Terciptanya lingkungan yang semakin instan, tidak sepatutnya dapat disalahkan oleh mahasiswa. Pada dasarnya, hal ini terjadi karena sistem yang membuatnya seperti itu. Lingkungan belajar yang dibentuk memang telah terbangun sejak mahasiswa duduk dibangku kuliah. Mahasiswa menggampangkan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen, karena feedback dari dosen terlihat sangat kurang. Dosen terkadang mengumpulkan tugas mahasiswa tetapi tidak memeriksanya secara detail, kejelasan sumbernya dimana, kebenaran dalam penulisan, dan kesesuaian konten dengan konteks. Selain itu, kurangnya arahan yang jelas dari dosen terkait dengan pentingnya membaca dan menulis. Rutinitas mahasiswa mengumpulkan tugas kuliah hanya sekedar kewajiban bukan kebutuhan. Tugas pun diunduh dari berbagai sumber yang tidak jelas sumbernya, tanpa membaca buku. Copy dan paste seakan-akan menjadi sebuah rutinitas dan tradisi yang telah mendarah daging. Tradisi ini tidak mungkin hilang karena sistem telah melegalkannya. Mahasiswa dibentuk layaknya robot, bukan seorang pemikir dan pencipta. Lahirlah kemudian generasi-generasi muda yang bermental kerupuk.
Lingkungan itu kemudian berdampak pada tugas akhir mahasiwa. Tentu tidak asing lagi dengan istilah “skripsi”. Mahasiswa sering memelesetkannya dengan istilah “krispi”. Tugas akhir ini seperti momok yang menakutkan bagi mahasiswa, mengapa tidak sekali ketemu dengan dosen pembimbing seketika itu juga lembaran demi lembaran disilang sepanjang ukuran kertas. Hal inilah membuat mahasiwa di penjuru Indonesia selalu pesimis ketika diperhadapkan pada tugas akhir. Munculnya dilema seperti ini, tidak lepas karena kurangnya keinginan mahasiswa untuk membaca referensi demi referensi. Kalaupun membaca, mahasiswa lebih suka membaca komik atau bacaan-bacaan yang bergambar. Sehingga, ketika mahasiswa ditugaskan untuk menulis, mereka tidak bisa menguraikan ide-ide yang ada di pikirannya dalam bentuk tulisan karena kurangnya referensi bacaan.
Ketika mental-mental seperti ini masih dipertahankan, lambat laun mahasiswa akan semakin bermental malas. Revolusi mental yang ditawarkan oleh pemerintah tidak akan mampu menjawab tantangan yang dihadapi masyarakat saat ini. Solusi konkret untuk menjawab tantangan itu adalah dengan banyak membaca dan menulis. Sebuah literatur pernah menyebutkan bahwa membaca biografi atau pengalaman-pengalaman orang lain ibaratnya sama dengan melewati pengalaman itu. Artinya, 30 tahun pengalaman itu dijalani oleh orang yang bersangkutan, pembaca kemudian menjalani pengalaman itu hanya dengan 1-2 jam dengan membaca biografi tersebut. Kampanye gemar membaca dan menulis tidak hanya sekedar diorasikan akan tetapi bagaimana pemerintah membuat sebuah sistem agar membaca dan menulis itu menjadi sebuah rutinitas dan kebutuhan masyarakat, khususnya dikalangan pemuda atau mahasiswa. Tak terlepas juga, peran dan sumbangsi orang tua terhadap anak-anaknya. Menanamkan tradisi membaca dan menulis sejak dini merupakan langkah konkret untuk menumbuhkan pikirian-pikiran kreatif tersebut.
Semakin berkembangnya teknologi saat ini tidak bisa dipungkiri. Mengingat teknologi sudah menjadi kebutuhan dan bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Hanya menunggu kebijakan dari pemerintah bagaimana menyinergikan antara teknologi dengan ilmu pengetahuan saat ini. Misalnya, yang dulunya bacaan-bacaan hanya dalam bentuk buku, akan tetapi bacaan-bacaan sekarang harus dikemas dalam bentuk elektronik. Begitu juga dengan menulis, dulunya hanya dikertas akan tetapi sekarang sudah banyak media yang bisa dijadikan sebagai wahana menulis. Misalnya, menulis diary atau catatan-catatan harian di facebook, twitter, e-mail, blog atau menulis dalam bentuk e-book.
Zaman bisa berubah, teknologi bisa maju, cara berpikir juga harus berkembang. Teknologi tidak harus dihindari tetapi mesti disinergikan dengan kebutuhan masyarakat. Banyak pemuda atau mahasiswa diluar sana juga berpikir mengenai hal ini, salah satu yang terbaru adalah sekelompok mahasiswa membuka café bacaan. Pada umumnnya, masyarakat hanya mengenal café tempat ngopi dan online, tetapi sekarang sudah mulai muncul café yang dikemas seperti perpustakaan. Segala fasilitas bacaan disiapkan mulai dari bahan bacaan berbentuk buku sampai dengan bacaan yang berbentuk elektronik. Hal ini merupakan cara berpikir inovatif yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat.
Kampanye gemar membaca dan menulis sering dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi berbanding terbalik dengan fasilitas yang disiapkan. Misalnya, fasilitas buku-buku yang ada diperpustakaan wilayah atau daerah tidak diperbaharaui secara berkala. Sehingga, buku-buku tersebut terlihat jadul dan tertinggal. Ada satu cerita, katanya pernah seseorang masuk ke perpustakaan akan tetapi harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami sesak nafas. Tentu tak lain dan tak bukan, alasan orang tersebut dibawah kerumah sakit karena penyakit asma. Ada hal yang menggelitik dibalik cerita itu bahwa ternyata penyakit asma yang diderita, kambu akibat debu-debu buku yang bertumpuk karena tidak pernah dibersihkan oleh pengelola perpustakaan. Oleh karena itu, apa yang ingin disampaikan dari ilustrasi cerita tersebut adalah bagaimana sebuah wahana bacaan harus dikemas semenarik mungin, bukan sebaliknya mencelakan orang.
Tidak bisa menutup mata bahwa ketersediaan bahan bacaan menjadi nilai tambah untuk menarik perhatian masyarakat khususnya mahasiswa atau pemuda untuk menggeluti dunia membaca dan menulis. Apalagi kondisi sekarang menyebabkan segala sesuatunya serba instan, sikap intropeksi diri sangat dibutuhkan. Mulai sekarang pemuda harus barubah! Bukan dirubah! Tidak harus membaca 12 eksemplar buku dalam sehari, akan tetapi memulai dengan membaca artikel-artikel koran, majalah, online adalah langkah konkret untuk melakukan sebuah perubahan. Menulis status di facebook dan twitter dengan hal-hal yang mencerdaskan juga menjadi langkah awal untuk menggeluti dunia menulis. Memang sangat susah untuk memulainya, tetapi dengan pembiasaan semuanya akan menjadi terbiasa. Oleh karena itu, melalui pembiasaan membaca dan menulis maka nantinya akan tercipta generasi bangsa yang berkualitas dan inovatif.


Makassar, 17 Agustus 2015



"Barru Tanah Pangngadereng"



“Barru Tanah Pangngadereng
By: Anar_Sastra
Ketika engkau menampik jalan panjang
Tak risau kau singga ditanah leluhur kami
Ketika engkau tergeletak dalam gelapnya malam
Tak usah cemas tanah leluhur kami adalah harapan

Tanah kami telah menorehkan sejarah
Tanah kami telah menobatkan rumpun kerajaan
Tanah kami telah mendidik to mappedecengnge, to accae, to waranie, to lempue
Tanah kami lumbung kemakmuran
Hijau ladangnya, putih jiwanya

Empat pilar payung adalah sejarah
Datunna Tanete…
Datunna Berru…
Datunna Balusu…
Datunna Mallusetasi…

Maddeppa ri eppa’e tellang iyanaritu atanrang akkarungenna tanah berru.
Mangngade’ ri padanna
Makkatenne masse ri lempue
Mappe’deceng ri pabbanuae
Mappe’lempu ri tongengng’e


Barru tanah pangngadereng
Taka asing jika engkau memijak
Tak lapar jika engkau meminta
Tak haus jika engkau memohon
Nasaba to berrue mappebaliwi napasau
Mappangngajai namadeceng
Mappalebbangngi nassamaturuki

Barru tanah pangngadereng
Tanah kelahiran …
Tanah dewata …
Tanah asseasijeng …
Tanah siame-ame namadeceng wanuae …
Namalomo naletei pammase dewata…

Di sinilah aku lahir…
Di sinilah aku mati…