“Membaca,
Menulis adalah Kebutuhan”
By:
Anaruddin
Ada
yang pernah mengatakan bahwa “jika engkau ingin menggenggam dunia maka
perbanyaklah membaca dan jika engkau ingin dikenang maka perbanyaklah menulis”.
Ungkapan ini bukan hanya sekedar pesan biasa, akan tetapi mengandung makna yang
mendalam. Tanpa membaca seseorang tidak
akan mampu mengembangkan cakrawala berpikirnya. Dipahami bersama bahwa sumber ilmu pengetahuan yang ada saat
ini, semuanya berasal dari hasil bacaan. Oleh karena itu, salah satu jalan
untuk memahami sebuah ilmu pengetahuan adalah dengan cara membaca. Begitu juga
sebaliknya, jika ingin dikenang sepanjang khayatnya, seseorang harus
meninggalkan jejak-jejak mereka dalam bentuk tulisan. Sejarah telah membuktikan,
Aristoteles dikenang oleh masyarakat luas sebagai bapak logika karena
tulisannya, Ibnu Sina dikenang sebagai bapak dokter muslim karena tulisannya,
Imam Al-Ghazali dikenang sebagai ulama besar karena tulisannya, dan masih
banyak lagi tokoh-tokoh di dunia ini yang meninggalkan rekam jejaknya dalam
bentuk tulisan.
Tradisi
membaca bukan lagi menjadi barang baru, tetapi ibaratnya telah menjadi bagian
terpenting dalam hidup manusia. Seseorang pernah mengungkapkan bahwa membaca adalah
termasuk kebutuhan pokok. Seperti halnya kebutuhan makanan, jika tidak
terpenuhi maka seseorang akan merasa lapar. Karena perkembangan ilmu pengetahuan
yang semakin maju, seseorang kemudian dituntut bahkan sangat dipaksa untuk
membaca literatur demi memperbaharui pengetahuannya.
Muncul
kemudian persoalan yang penting untuk dibahas berkaitan dengan daya baca dan
tulis masyarakat Indonesia. Ada anggapan bahwa entitas masyarakat Indonesia
yang gemar membaca dan pintar menulis sudah mengalami degradasi. Masalah itu, merambah
sampai pada anak muda. Hal ini terbukti dari cara berpikir mereka yang
menganggap bahwa membaca dan menulis hanya sekadar pengisi waktu luang.
Mahasiswa
atau dalam artian sekarang adalah pemuda, dari dahulu hingga sekarang pemuda
dikenal sebagai masa depan bangsa. Ditangan pemuda tergenggam wajah-wajah
bangsa yang cemerlang. Pemuda adalah agent of
change, social of control, dan moral
force. Berbeda dengan kondisi sekarang yang mindset mereka digerus oleh perkembangan teknologi yang semakin
maju secara pesat. Munculnya banyak fasilitas teknologi menyebabkan mahasiswa
semakin manja untuk berpikir. Misalnya, beragam fasilitas jejaring sosial
seperti Blackberry messenger, facebook,
twitter, line, instagram, path dan
masih banyak lagi. Mereka biasanya lebih lama menghabiskan waktu di depan
komputer, dan gadget daripada membaca
buku atau bacaan-bacan yang bersifat membangun. Begitu juga para mahasiswa
lebih sering menulis status (baca; isi pikiran,posisi) mereka di akun twitter
dan facebook (sosial media) daripada menulis hal-hal yang bermanfaat berkaitan
dengan keilmuan. Bayangkan ketika status (baca; isi pikiran, posisi) yang
sering di-posting ditulis kemudian disatukan
dalam satu cerita, bisa saja menjadi sebuah karya sastra. Misalnya, cerita yang
disusun dalam bentuk cerpen atau novel. Tapi sayang seribu sayang tulisan tersebut
hanya dilampiaskan diakun jejaring
sosial mereka, cerita itu hanya dibiarkan berlalu begitu saja.
Terciptanya
lingkungan yang semakin instan, tidak sepatutnya dapat disalahkan oleh
mahasiswa. Pada dasarnya, hal ini terjadi karena sistem yang membuatnya seperti
itu. Lingkungan belajar yang dibentuk memang telah terbangun sejak mahasiswa
duduk dibangku kuliah. Mahasiswa menggampangkan tugas-tugas yang diberikan oleh
dosen, karena feedback dari dosen
terlihat sangat kurang. Dosen terkadang mengumpulkan tugas mahasiswa tetapi
tidak memeriksanya secara detail, kejelasan sumbernya dimana, kebenaran dalam
penulisan, dan kesesuaian konten dengan konteks. Selain itu, kurangnya arahan
yang jelas dari dosen terkait dengan pentingnya membaca dan menulis. Rutinitas mahasiswa
mengumpulkan tugas kuliah hanya sekedar kewajiban bukan kebutuhan. Tugas pun
diunduh dari berbagai sumber yang tidak jelas sumbernya, tanpa membaca buku. Copy dan paste seakan-akan menjadi sebuah rutinitas dan tradisi yang telah
mendarah daging. Tradisi ini tidak mungkin hilang karena sistem telah
melegalkannya. Mahasiswa dibentuk layaknya robot, bukan seorang pemikir dan
pencipta. Lahirlah kemudian generasi-generasi muda yang bermental kerupuk.
Lingkungan
itu kemudian berdampak pada tugas akhir mahasiwa. Tentu tidak asing lagi dengan
istilah “skripsi”. Mahasiswa sering memelesetkannya dengan istilah “krispi”.
Tugas akhir ini seperti momok yang menakutkan bagi mahasiswa, mengapa tidak
sekali ketemu dengan dosen pembimbing seketika itu juga lembaran demi lembaran
disilang sepanjang ukuran kertas. Hal inilah membuat mahasiwa di penjuru
Indonesia selalu pesimis ketika diperhadapkan pada tugas akhir. Munculnya
dilema seperti ini, tidak lepas karena kurangnya keinginan mahasiswa untuk
membaca referensi demi referensi. Kalaupun membaca, mahasiswa lebih suka
membaca komik atau bacaan-bacaan yang bergambar. Sehingga, ketika mahasiswa
ditugaskan untuk menulis, mereka tidak bisa menguraikan ide-ide yang ada di
pikirannya dalam bentuk tulisan karena kurangnya referensi bacaan.
Ketika
mental-mental seperti ini masih dipertahankan, lambat laun mahasiswa akan
semakin bermental malas. Revolusi mental yang ditawarkan oleh pemerintah tidak
akan mampu menjawab tantangan yang dihadapi masyarakat saat ini. Solusi konkret
untuk menjawab tantangan itu adalah dengan banyak membaca dan menulis. Sebuah
literatur pernah menyebutkan bahwa membaca biografi atau pengalaman-pengalaman
orang lain ibaratnya sama dengan melewati pengalaman itu. Artinya, 30 tahun
pengalaman itu dijalani oleh orang yang bersangkutan, pembaca kemudian
menjalani pengalaman itu hanya dengan 1-2 jam dengan membaca biografi tersebut.
Kampanye gemar membaca dan menulis tidak hanya sekedar diorasikan akan tetapi
bagaimana pemerintah membuat sebuah sistem agar membaca dan menulis itu menjadi
sebuah rutinitas dan kebutuhan masyarakat, khususnya dikalangan pemuda atau
mahasiswa. Tak terlepas juga, peran dan sumbangsi orang tua terhadap
anak-anaknya. Menanamkan tradisi membaca dan menulis sejak dini merupakan
langkah konkret untuk menumbuhkan pikirian-pikiran kreatif tersebut.
Semakin
berkembangnya teknologi saat ini tidak bisa dipungkiri. Mengingat teknologi
sudah menjadi kebutuhan dan bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Hanya menunggu
kebijakan dari pemerintah bagaimana menyinergikan antara teknologi dengan ilmu
pengetahuan saat ini. Misalnya, yang dulunya bacaan-bacaan hanya dalam bentuk
buku, akan tetapi bacaan-bacaan sekarang harus dikemas dalam bentuk elektronik.
Begitu juga dengan menulis, dulunya hanya dikertas akan tetapi sekarang sudah
banyak media yang bisa dijadikan sebagai wahana menulis. Misalnya, menulis diary atau catatan-catatan harian di facebook, twitter, e-mail, blog atau
menulis dalam bentuk e-book.
Zaman
bisa berubah, teknologi bisa maju, cara berpikir juga harus berkembang.
Teknologi tidak harus dihindari tetapi mesti disinergikan dengan kebutuhan
masyarakat. Banyak pemuda atau mahasiswa diluar sana juga berpikir mengenai hal
ini, salah satu yang terbaru adalah sekelompok mahasiswa membuka café bacaan.
Pada umumnnya, masyarakat hanya mengenal café tempat ngopi dan online, tetapi
sekarang sudah mulai muncul café yang dikemas seperti perpustakaan. Segala
fasilitas bacaan disiapkan mulai dari bahan bacaan berbentuk buku sampai dengan
bacaan yang berbentuk elektronik. Hal ini merupakan cara berpikir inovatif yang
dapat menjawab kebutuhan masyarakat.
Kampanye
gemar membaca dan menulis sering dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi
berbanding terbalik dengan fasilitas yang disiapkan. Misalnya, fasilitas buku-buku
yang ada diperpustakaan wilayah atau daerah tidak diperbaharaui secara berkala.
Sehingga, buku-buku tersebut terlihat jadul dan tertinggal. Ada satu cerita,
katanya pernah seseorang masuk ke perpustakaan akan tetapi harus dilarikan ke
rumah sakit karena mengalami sesak nafas. Tentu tak lain dan tak bukan, alasan
orang tersebut dibawah kerumah sakit karena penyakit asma. Ada hal yang
menggelitik dibalik cerita itu bahwa ternyata penyakit asma yang diderita,
kambu akibat debu-debu buku yang bertumpuk karena tidak pernah dibersihkan oleh
pengelola perpustakaan. Oleh karena itu, apa yang ingin disampaikan dari
ilustrasi cerita tersebut adalah bagaimana sebuah wahana bacaan harus dikemas
semenarik mungin, bukan sebaliknya mencelakan orang.
Tidak
bisa menutup mata bahwa ketersediaan bahan bacaan menjadi nilai tambah untuk
menarik perhatian masyarakat khususnya mahasiswa atau pemuda untuk menggeluti
dunia membaca dan menulis. Apalagi kondisi sekarang menyebabkan segala
sesuatunya serba instan, sikap intropeksi diri sangat dibutuhkan. Mulai
sekarang pemuda harus barubah! Bukan dirubah! Tidak harus membaca 12 eksemplar
buku dalam sehari, akan tetapi memulai dengan membaca artikel-artikel koran,
majalah, online adalah langkah konkret untuk melakukan sebuah perubahan. Menulis
status di facebook dan twitter dengan hal-hal yang mencerdaskan
juga menjadi langkah awal untuk menggeluti dunia menulis. Memang sangat susah
untuk memulainya, tetapi dengan pembiasaan semuanya akan menjadi terbiasa. Oleh
karena itu, melalui pembiasaan membaca dan menulis maka nantinya akan tercipta
generasi bangsa yang berkualitas dan inovatif.
Makassar,
17 Agustus 2015