Mengapa kalau saya berambut gonrong? Kira-kira apa yang terlintas
dipikiran kalian ketika mendengar kata “rambut gonrong”. Tentu kalian
akan berpikir bahwa “rambut gonrong” identik dengan orang-orang
premanisme, stigma ini mengarahkan ke hal-hal negatif, sesuatu yang
buruk, entah dari mana asalnya. Secara harfiah, ketika dilihat dari segi
pengertian gonrong diartikan sebagai panjang karena lama tidak
dipangkas (tentang rambut orang laki-laki): ketika pertama kali
ditemukan di hutan, watak anak itu beringas, kukunya panjang, dan
rambutnya -- sampai ke bahu. Berdasarkan pengertian di atas menunjukkan
bahwa gonrong adalah sesuatu yang buruk. Akan tetapi, itu sebuah
pengertian saja dan belum tentu berterima oleh semua kalangan.
Stigma tentang “rambut gonrong” telah menjadi wacana dari tahun gajah sampai tahun sekarang, khususnya dalam rana pendidikan. Dibelbagai jenjang pendidikan banyak sekali produksi aturan yang dibuat institusi itu sendiri terkait dengan larangan “berambut gonrong”. Contoh kecilnya, di Institusi Perguruan Tinggi, katakanlah Universitas Hasanuddin, juga telah menetapkan sebuah aturan tentang larangan berambut gonrong bagi mahasiswa. Hingga baru-baru ini telah terjadi sebuah demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para mahasiswa dari Fakultas Kehutanan, yang menuntut agar aturan pelarangan rambut gonrong segera dicabut oleh birokrasi. Terkait akan hal itu, hal ini membuktikan bahwa berambut gonrong dianggap oleh beberapa pihak tidak mempunyai nilai positif. Pengklaisifikasian tentang sebuah benar tidaknya, baik buruknya seseorang yang berambut gonrong tidak bisa dipastikan karena hal ini bersifat subjektif bagi masing-masing pihak yang menilai akan baik buruknya berambut gonrong itu. Oleh karena itu, tidak ada alasan yang jelas yang melarang seseorang untuk berambut gonrong.
Terlepas dari aturan yang dibuat institusi itu sendiri, tak bisa dipungkiri pula bahwa diluar dari itu masih ada pandangan umum dalam artian perspektif masyarakat yang tidak bisa dihindarkan. Ketika dilakukan survey berkenaan tentang baik buruknya berambut gonrong, secara komprehensif akan ditemukan bahwa berambut gonrong itu adalah sesuatu yang buruk. Hal ini terjadi, karena dalam mind set masyarakat telah tertanam sebuah dualisme nilai, yaitu nilai baik dan nilai buruk. Nilai ini sudah dikenal dan menjadi ketetapan apriori yang memang semestinya dan seharusnya ada. Namun, ada hal-hal sekunder yaitu hal-hal yang sifatnya aposteriori (bisa diubah tergantung konteksnya). Seperti seseorang yang berambut gondrong, meskipun rambut gondrong tidaklah menjadi satu ketetapan yang tersurat berkategori prilaku buruk (penampilan buruk). Namun efeknya pada cara persepsi masyarakat kepada seseorang yang berambut gondrong tidak dapat dibilang sepele. Karena dari persepsi maka lahirlah perilaku. Persepsi menentukan perilaku. Apa-apa yang dinilai buruk oleh masyarakat maka akan pula diperlakukan buruk oleh masyarakat. Itulah yang disebut sanksi sosial, konsekuensi sosial dari siapa saja yang berani berperangai buruk. Secara tersirat, “berambut gondrong” sudah terlanjur dikategorikan perilaku buruk, meski hanya dalam persepsi tidak tersurat.
Memiliki “rambut gonrong” memang adalah sesuatu yang dilema, selain bertimbang terhadap pandangan masyarakat mengenai rambut gonrong yang dicap sebagai golongan premanisme, tak bisa dipungkiri pula bahwa di dalamnya ada kebebasan manusia, kebebasan untuk berpikir dan berkereasi. Sehingga, orang-orang yang berambut gonrong merasa telah direngguk kebebasannya untuk berpikir, ketika dibatasi oleh nilai baik buruk itu. Kebanyakan dari mereka juga menganggap bahwa “berambut gonrong” itu adalah sebuah style yang dapat menumbuhkan kepercayaan diri dalam pergaulan. Selain itu, berdasarkan observasi yang dilakukan oleh beberapa pihak bahwa mereka merasa nyaman ketika memiliki rambut gonrong. Tidak hanya sampai di situ, menurutnya nyaman adalah modal utama manusia sebagai makhluk pembelajar dapat memaksimalkan anugerah akal budi yang secara cuma-cuma telah terberi. Pentingnya rasa nyaman telah pula diulas oleh Fred B. Chernow dalam buku berjudul “the Sharper Mind” yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Beliau menyatakan bahwa untuk mempertajam ingatan seseorang, mula-mula harus menciptakan perasaan nyaman dalam dirinya. Karena dari rasa nyaman itu daya konsentrasi seseorang akan bertambah tajam lagi. Sehingga efeknya, seseorang akan bisa maksimal dalam hal mengingat. Berdasarkan ulasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kebebasan manusia tidak bisa dikekang dan dibatasi oleh apapun, yang penting tidak mengganggu kebebasan orang lain. Oleh karena itu, persepsi masyarakat harus dirubah dengan menunjukkan sikap postif yang dimiliki oleh seseorang yang berambut gonrong.
Masyarakat tidak bisa juga menutup mata bahwa ada beberapa nilai positif yang dimiliki oleh seseorang yang berambut gonrong. Secara objektif dapat dikatakan bahwa, rata-rata orang gonrong itu khusunya dilingkungan mahasiswa adalah seorang aktivis, organisatoris, kritikus, cerdas, dan intelektual. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat beberapa petinggi-petinggi negara yang sekarang sedang duduk di kursi pemerintahan adalah mereka mantan ‘berambut gonrong’. Sebagai contoh, Abraham Samad selaku ketua KPK adalah mantan aktivis sekaligus berambut gonrong, Ruhut Sitompul selaku anggota DPRD, adalah mantan ‘berambut gonrong’, Joko Widodo selaku Gubernur DKI Jakarta adalah mantan seorang gonrong dan masih banyak lagi petinggi-petinggi lainnya yang berambut gonrong. Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa berambut gonrong bukanlah sesuatu yang buruk, tidak sepantasnya orang gonrong itu dideskriminasi dan dicap sebagai kalangan premanisme. Karena berambut gonrong itu ibarat sebuah deklarasi kemerdekaan atas telah berhasilnya dengan gagah berani meraih kedaulatan diri sendiri. Di samping itu, seseorang yang beragama Islam dan memiliki rambut gonrong, berarti ia telah memulai meneladani rasulnya yaitu Muhammad SAW yang juga berambut gondrong sebahu.
Makassar, 15 Maret 2014
Penulis,
Anaruddin
Stigma tentang “rambut gonrong” telah menjadi wacana dari tahun gajah sampai tahun sekarang, khususnya dalam rana pendidikan. Dibelbagai jenjang pendidikan banyak sekali produksi aturan yang dibuat institusi itu sendiri terkait dengan larangan “berambut gonrong”. Contoh kecilnya, di Institusi Perguruan Tinggi, katakanlah Universitas Hasanuddin, juga telah menetapkan sebuah aturan tentang larangan berambut gonrong bagi mahasiswa. Hingga baru-baru ini telah terjadi sebuah demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para mahasiswa dari Fakultas Kehutanan, yang menuntut agar aturan pelarangan rambut gonrong segera dicabut oleh birokrasi. Terkait akan hal itu, hal ini membuktikan bahwa berambut gonrong dianggap oleh beberapa pihak tidak mempunyai nilai positif. Pengklaisifikasian tentang sebuah benar tidaknya, baik buruknya seseorang yang berambut gonrong tidak bisa dipastikan karena hal ini bersifat subjektif bagi masing-masing pihak yang menilai akan baik buruknya berambut gonrong itu. Oleh karena itu, tidak ada alasan yang jelas yang melarang seseorang untuk berambut gonrong.
Terlepas dari aturan yang dibuat institusi itu sendiri, tak bisa dipungkiri pula bahwa diluar dari itu masih ada pandangan umum dalam artian perspektif masyarakat yang tidak bisa dihindarkan. Ketika dilakukan survey berkenaan tentang baik buruknya berambut gonrong, secara komprehensif akan ditemukan bahwa berambut gonrong itu adalah sesuatu yang buruk. Hal ini terjadi, karena dalam mind set masyarakat telah tertanam sebuah dualisme nilai, yaitu nilai baik dan nilai buruk. Nilai ini sudah dikenal dan menjadi ketetapan apriori yang memang semestinya dan seharusnya ada. Namun, ada hal-hal sekunder yaitu hal-hal yang sifatnya aposteriori (bisa diubah tergantung konteksnya). Seperti seseorang yang berambut gondrong, meskipun rambut gondrong tidaklah menjadi satu ketetapan yang tersurat berkategori prilaku buruk (penampilan buruk). Namun efeknya pada cara persepsi masyarakat kepada seseorang yang berambut gondrong tidak dapat dibilang sepele. Karena dari persepsi maka lahirlah perilaku. Persepsi menentukan perilaku. Apa-apa yang dinilai buruk oleh masyarakat maka akan pula diperlakukan buruk oleh masyarakat. Itulah yang disebut sanksi sosial, konsekuensi sosial dari siapa saja yang berani berperangai buruk. Secara tersirat, “berambut gondrong” sudah terlanjur dikategorikan perilaku buruk, meski hanya dalam persepsi tidak tersurat.
Memiliki “rambut gonrong” memang adalah sesuatu yang dilema, selain bertimbang terhadap pandangan masyarakat mengenai rambut gonrong yang dicap sebagai golongan premanisme, tak bisa dipungkiri pula bahwa di dalamnya ada kebebasan manusia, kebebasan untuk berpikir dan berkereasi. Sehingga, orang-orang yang berambut gonrong merasa telah direngguk kebebasannya untuk berpikir, ketika dibatasi oleh nilai baik buruk itu. Kebanyakan dari mereka juga menganggap bahwa “berambut gonrong” itu adalah sebuah style yang dapat menumbuhkan kepercayaan diri dalam pergaulan. Selain itu, berdasarkan observasi yang dilakukan oleh beberapa pihak bahwa mereka merasa nyaman ketika memiliki rambut gonrong. Tidak hanya sampai di situ, menurutnya nyaman adalah modal utama manusia sebagai makhluk pembelajar dapat memaksimalkan anugerah akal budi yang secara cuma-cuma telah terberi. Pentingnya rasa nyaman telah pula diulas oleh Fred B. Chernow dalam buku berjudul “the Sharper Mind” yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Beliau menyatakan bahwa untuk mempertajam ingatan seseorang, mula-mula harus menciptakan perasaan nyaman dalam dirinya. Karena dari rasa nyaman itu daya konsentrasi seseorang akan bertambah tajam lagi. Sehingga efeknya, seseorang akan bisa maksimal dalam hal mengingat. Berdasarkan ulasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kebebasan manusia tidak bisa dikekang dan dibatasi oleh apapun, yang penting tidak mengganggu kebebasan orang lain. Oleh karena itu, persepsi masyarakat harus dirubah dengan menunjukkan sikap postif yang dimiliki oleh seseorang yang berambut gonrong.
Masyarakat tidak bisa juga menutup mata bahwa ada beberapa nilai positif yang dimiliki oleh seseorang yang berambut gonrong. Secara objektif dapat dikatakan bahwa, rata-rata orang gonrong itu khusunya dilingkungan mahasiswa adalah seorang aktivis, organisatoris, kritikus, cerdas, dan intelektual. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat beberapa petinggi-petinggi negara yang sekarang sedang duduk di kursi pemerintahan adalah mereka mantan ‘berambut gonrong’. Sebagai contoh, Abraham Samad selaku ketua KPK adalah mantan aktivis sekaligus berambut gonrong, Ruhut Sitompul selaku anggota DPRD, adalah mantan ‘berambut gonrong’, Joko Widodo selaku Gubernur DKI Jakarta adalah mantan seorang gonrong dan masih banyak lagi petinggi-petinggi lainnya yang berambut gonrong. Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa berambut gonrong bukanlah sesuatu yang buruk, tidak sepantasnya orang gonrong itu dideskriminasi dan dicap sebagai kalangan premanisme. Karena berambut gonrong itu ibarat sebuah deklarasi kemerdekaan atas telah berhasilnya dengan gagah berani meraih kedaulatan diri sendiri. Di samping itu, seseorang yang beragama Islam dan memiliki rambut gonrong, berarti ia telah memulai meneladani rasulnya yaitu Muhammad SAW yang juga berambut gondrong sebahu.
Makassar, 15 Maret 2014
Penulis,
Anaruddin