Monday, 17 March 2014

Ada yang salah kalau saya berambut gonrong?

Mengapa kalau saya berambut gonrong? Kira-kira apa yang terlintas dipikiran kalian ketika mendengar kata “rambut gonrong”. Tentu kalian akan berpikir bahwa “rambut gonrong” identik dengan orang-orang premanisme, stigma ini mengarahkan ke hal-hal negatif, sesuatu yang buruk, entah dari mana asalnya. Secara harfiah, ketika dilihat dari segi pengertian gonrong diartikan sebagai panjang karena lama tidak dipangkas (tentang rambut orang laki-laki): ketika pertama kali ditemukan di hutan, watak anak itu beringas, kukunya panjang, dan rambutnya -- sampai ke bahu. Berdasarkan pengertian di atas menunjukkan bahwa gonrong adalah sesuatu yang buruk. Akan tetapi, itu sebuah pengertian saja dan belum tentu berterima oleh semua kalangan.

Stigma tentang “rambut gonrong” telah menjadi wacana dari tahun gajah sampai tahun sekarang, khususnya dalam rana pendidikan. Dibelbagai jenjang pendidikan banyak sekali produksi aturan yang dibuat institusi itu sendiri terkait dengan larangan “berambut gonrong”. Contoh kecilnya, di Institusi Perguruan Tinggi, katakanlah Universitas Hasanuddin, juga telah menetapkan sebuah aturan tentang larangan berambut gonrong bagi mahasiswa. Hingga baru-baru ini telah terjadi sebuah demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para mahasiswa dari Fakultas Kehutanan, yang menuntut agar aturan pelarangan rambut gonrong segera dicabut oleh birokrasi. Terkait akan hal itu, hal ini membuktikan bahwa berambut gonrong dianggap oleh beberapa pihak tidak mempunyai nilai positif. Pengklaisifikasian tentang sebuah benar tidaknya, baik buruknya seseorang yang berambut gonrong tidak bisa dipastikan karena hal ini bersifat subjektif bagi masing-masing pihak yang menilai akan baik buruknya berambut gonrong itu. Oleh karena itu, tidak ada alasan yang jelas yang melarang seseorang untuk berambut gonrong.

Terlepas dari aturan yang dibuat institusi itu sendiri, tak bisa dipungkiri pula bahwa diluar dari itu masih ada pandangan umum dalam artian perspektif masyarakat yang tidak bisa dihindarkan. Ketika dilakukan survey berkenaan tentang baik buruknya berambut gonrong, secara komprehensif akan ditemukan bahwa berambut gonrong itu adalah sesuatu yang buruk. Hal ini terjadi, karena dalam mind set masyarakat telah tertanam sebuah dualisme nilai, yaitu nilai baik dan nilai buruk. Nilai ini sudah dikenal dan menjadi ketetapan apriori yang memang semestinya dan seharusnya ada. Namun, ada hal-hal sekunder yaitu hal-hal yang sifatnya aposteriori (bisa diubah tergantung konteksnya). Seperti seseorang yang berambut gondrong, meskipun rambut gondrong tidaklah menjadi satu ketetapan yang tersurat berkategori prilaku buruk (penampilan buruk). Namun efeknya pada cara persepsi masyarakat kepada seseorang yang berambut gondrong tidak dapat dibilang sepele. Karena dari persepsi maka lahirlah perilaku. Persepsi menentukan perilaku. Apa-apa yang dinilai buruk oleh masyarakat maka akan pula diperlakukan buruk oleh masyarakat. Itulah yang disebut sanksi sosial, konsekuensi sosial dari siapa saja yang berani berperangai buruk. Secara tersirat, “berambut gondrong” sudah terlanjur dikategorikan perilaku buruk, meski hanya dalam persepsi tidak tersurat.

Memiliki “rambut gonrong” memang adalah sesuatu yang dilema, selain bertimbang terhadap pandangan masyarakat mengenai rambut gonrong yang dicap sebagai golongan premanisme, tak bisa dipungkiri pula bahwa di dalamnya ada kebebasan manusia, kebebasan untuk berpikir dan berkereasi. Sehingga, orang-orang yang berambut gonrong merasa telah direngguk kebebasannya untuk berpikir, ketika dibatasi oleh nilai baik buruk itu. Kebanyakan dari mereka juga menganggap bahwa “berambut gonrong” itu adalah sebuah style yang dapat menumbuhkan kepercayaan diri dalam pergaulan. Selain itu, berdasarkan observasi yang dilakukan oleh beberapa pihak bahwa mereka merasa nyaman ketika memiliki rambut gonrong. Tidak hanya sampai di situ, menurutnya nyaman adalah modal utama manusia sebagai makhluk pembelajar dapat memaksimalkan anugerah akal budi yang secara cuma-cuma telah terberi. Pentingnya rasa nyaman telah pula diulas oleh Fred B. Chernow dalam buku berjudul “the Sharper Mind” yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Beliau menyatakan bahwa untuk mempertajam ingatan seseorang, mula-mula harus menciptakan perasaan nyaman dalam dirinya. Karena dari rasa nyaman itu daya konsentrasi seseorang akan bertambah tajam lagi. Sehingga efeknya, seseorang akan bisa maksimal dalam hal mengingat. Berdasarkan ulasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kebebasan manusia tidak bisa dikekang dan dibatasi oleh apapun, yang penting tidak mengganggu kebebasan orang lain. Oleh karena itu, persepsi masyarakat harus dirubah dengan menunjukkan sikap postif yang dimiliki oleh seseorang yang berambut gonrong.

Masyarakat tidak bisa juga menutup mata bahwa ada beberapa nilai positif yang dimiliki oleh seseorang yang berambut gonrong. Secara objektif dapat dikatakan bahwa, rata-rata orang gonrong itu khusunya dilingkungan mahasiswa adalah seorang aktivis, organisatoris, kritikus, cerdas, dan intelektual. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat beberapa petinggi-petinggi negara yang sekarang sedang duduk di kursi pemerintahan adalah mereka mantan ‘berambut gonrong’. Sebagai contoh, Abraham Samad selaku ketua KPK adalah mantan aktivis sekaligus berambut gonrong, Ruhut Sitompul selaku anggota DPRD, adalah mantan ‘berambut gonrong’, Joko Widodo selaku Gubernur DKI Jakarta adalah mantan seorang gonrong dan masih banyak lagi petinggi-petinggi lainnya yang berambut gonrong. Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa berambut gonrong bukanlah sesuatu yang buruk, tidak sepantasnya orang gonrong itu dideskriminasi dan dicap sebagai kalangan premanisme. Karena berambut gonrong itu ibarat sebuah deklarasi kemerdekaan atas telah berhasilnya dengan gagah berani meraih kedaulatan diri sendiri. Di samping itu, seseorang yang beragama Islam dan memiliki rambut gonrong, berarti ia telah memulai meneladani rasulnya yaitu Muhammad SAW yang juga berambut gondrong sebahu.



Makassar, 15 Maret 2014
Penulis,


Anaruddin

Sunday, 16 March 2014

SEJARAH PERUBAHAN NAMA AGANG NIONJO MENJADI TANETE DI BARRU

Diriwayatkan bahwa pada masanya ada seorang putra dari Pajung Luwu (Raja Luwu) mati tenggelam dilaut waktu menyeberang ke Tanjung Ujung (antara selayar dan bira). Jenazah Putera Raja Luwu itu dipungut oleh raja-raja Tenete (Kerajaan kecil di Selayar). Opu Tanete (Raja Tanete) membawa jenazah itu dalam peti pergi menghadap kepada Raja Gowa.

Sewaktu jenazah itu sampai di istana Raja Gowa, maka Raja Gowa meminta kepada Karaeng Agang Nionjo, yang kebetulan pada waktu itu sedang menghadap Raja Gowa, agar supaya Karaeng Agang Nionjo memerintahkan orang-orangnya mengawal Opu Tanete mengantar jenazah itu ke Luwu. Perintah Raja Gowa itu dilaksanakan oleh Opu Tanete dan Karaeng Agang Nionjo. selaku tanda atas peristiwa tersebut dan juga untuk mempererat persahabatan antara Tenete (Selayar) dengan Agang Ninonjo, maka mulai pada waktu itu AGANG NIONJO diubah namanya menjadi TANETE, senama dengan Tanete di Selayar.

Referensi:
Judul Buku: Bingkisan Patunru; Sejarah Lokal Sulawesi Selatan oleh Abdurrazak Daeng Patunru.

Monday, 10 March 2014

Berharap Haji, Anjing Jadinya

Kepulanganku di tanah kelahiran bukan karena tanpa maksud, kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan, mengiringku dan memaksaku harus berpijak di tempat para keluarga menggantungkan hidup. Keberadaanku di kampung halaman sudah kuhabiskan selama dua hari, di hari yang ketiga ini ku coba untuk menjajaki beberapa rumah keluarga terdekat. Meskipun, kekuatanku masih belum begitu puli, kupaksakan diriku untuk bercengkarama dengan keluarga. Aku menganggap ini adalah bentuk terapi kesehatan, agar tidak sepenuhnya jenuh berada dalam kondisi kesakitan.

Tepat di sudut lapangan sepak bola, ku melihat rumah panggung dengan dinding cermin yang sangat indah. Terlihat di dalam rumah segerombolan ibu-ibu sedang ayiknya bercengkrama sambil terbahak-bahak. Entah! Apa yang mereka pergunjingkan, aku juga tidak tahu. Aku kemudian mendekati lingkaranan itu. Salah satu dari mereka pun menyapaku, “sianna naengka pajjumpanddangnge tu???” Aku hanya senyum sambil menjawab pertanyaan itu, “seriolona uwengka tante.” Iapun mempersilahkanku duduk di samping mereka. Pembicaraan mereka pun terfokus kepadaku, mereka mengomentari rambutku yang tidak gonrong lagi. Aku hanya tersenyum mendengarkan komentar mereka terhadapku. Sebuah kebiasaan lama, mengamati para mahasiswa yang gonrong ketika sedang pulang kampung.

Pembicaraan mereka pun mengarah pada seputar perkuliahan, pertanyaan silih berganti ditujukan kepadaku. Aku pun menjawab pertanyaan mereka sedetail mungkin. Ada yang bertanya seputar SPP persemeter, biaya KKN, biaya hidup selama di Makassar, bahkan sampai pada biaya akhir saat wisuda. Dengan sikap bijak aku pun menjelaskan seruntut mungkin sampai mereka merasa puas. Bukan hanya itu, pertanyaan seputar anak mereka juga tak lepas dipertanyakan, apakah anaknya rajin ke kampus, bagaimana nilai anaknya, dan apa saja kegiatan sehari-hari anaknya selain kuliah. Tanpa rasa gugup aku menjawabnya santai, “mapato maneng mua ana-anae lao makkuliah”. Salah satu dari mereka menyangga jawabanku, “ajasa musubbui kedo-kedona ana-anae kiyase juppandang!!! apa ipercayako tu iko maneng ana-anae iya makkuliayae.” Aku hanya mendengarkan apa yang mereka katakan dengan sedikit senyuman dan cengi-ngisan.

Lanjut Guys! Perbincangan itu semakin seru, topik pembicaraan diganti dengan seputar pengalaman dari mereka saat berada di tanah suci. Akun pun mulai bertanya tentang peristiwa-peristiwa yang dilihat saat berada di Tanah Haram itu. Menurutnya, berada di tanah haram adalah sesuatu yang tidak bisa dilupakan, banyak kenangan yang tak mampu dilukiskan oleh tinta hitam. Beberapa dari Mereka sangat penasaran dengan apa yang dialami oleh si Hj. Mia ini. Ia mulai bercerita, katanya, ia merasa sangat tenang dan damai berada di tanah suci. Melihat dan mencium hajar aswad juga tidak dilewatkan, menurut cerita bahwa ketika mencium hajar aswad, maka Allah akan memperlihatkan dunia gaib termasuk kehidupan akhirat, jika orang itu adalah orang baik maka ia akan diperlihatkan oleh Surga, begitu juga sebaliknya jika orang itu adalah orang jahat maka neraka yang akan diperlihatkannya. Selain itu, Ada juga pantangan untuk tidak menceritakan apa yang dilihatnya saat mencium hajar aswad, jika pantangan ini dilanggar maka orang tersebut akan cepat meninggal dunia. Sungguh menyeramkan yah guys!!!

Selama berada di tanah haram, ia juga diperlihatkan sebuah kejadian diluar logika manusia. Seorang manusia berubah menjadi babi, anjing, kerah, dan ular. Menurut cerita, Allah menampakkan peristiwa ini kepada manusia agar mereka semua sadar tentang adanya adzab Yang Maha Kuasa. Konon katanya, orang itu di adzab karena orang tersebut menggunakan ilmu tarekat dalam bahasa bugis dikenal mattareka. Mattareka ini merupakan ilmu untuk mencari kekayaan dengan menjelma menjadi binatang, jika ia mencari harta benda dengan menjelma sebagai anjing, maka Allah pun akan merubahnya menjadi anjing ketika ia berada di tanah Suci. Lanjut Guys!!! Katanya, orang yang menjelma tersebut tidak dipulangkan ke Indonesia karena wujudnya yang tidak berterima oleh semua kalangan.

Ia menyempatkan diri menunggangi unta, “Allahmdulillah riwettunna meloka tonangiwi ontae teppa langsung mua ruku, nappa menrena.” Ujarnya disela-sela perbincangan itu. Ia kemudian melanjut ceritanya, konon, orang yang naik tanah suci, kemudian memiliki banyak dosa kepada orang tuanya. Ketika hendak naik unta, unta tidak akan memberikan punggungngya ia tidak mau rukuk untuk dinaiki. Begitu juga sebaliknya, unta akan langsung rukuk ketika orang yang mau naik dipunggunggnya adalah orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Keheranan selalu menyelimuti dirinya saat berada di Tanah Suci, tetapi tak henti-hentinya ia berzikir kepada Allah SWT penguasa segala jagat raya ini. betapa tidak terlihat seorang nenek dan kakek tua yang rentang tetapi karena atas kuasa Allah, mereka menyelesaikan Hajjinya dengan baik, bahkan kekuatannya melebihi kekuatan orang pada umumnya. Sesuatu yang mustahil terjadi pada logika manusia, tetapi maha Suci Allah apapun bisa terjadi atas kehendaknya sebagai tanda-tanda kekuasaannya. Maha Benar Allah Atas Segala Firmannya.

Barru, 5 Maret 2014
Penulis,

Anaruddin

Tuesday, 4 March 2014

"Yang Maha Lain"

Amsal adalah bagian kegelapan bahasa,
kata-kata yang dilindungi cadar,
agar makna tak ditaklukkan cahaya langsung kebenaran
(Goenawan Mohamad, 2008:45)


Adakah yang keliru, ketika Yang Maha Kudus dibayangkan hadir sebagai tidak semata “Kalam,” yang mengalir lirih dari senyap ke bunyi, bunyi ke aksara, dari aksara menyusur pada sebatang anak sungai literasi yang beku, lalu dikukuhkan dalam Kitab? Demikianlah, tradisi nubuat adalah kisah yang aneka: amsalkan warna, menggelombang pekat dengan tempias prisma, tapi bersumbu pada Cahaya Tunggal.

Dan, agama selalu saja bermula pada Yang Maha Lain, yang numinous, yang dalam selarik gagas Rudolf Otto diungkapkan sebagai misterium terribile et fascinans. Misterium, sebab merengkuh gelap-terang yang saling bertukar-tangkap. Terribile karena ia hadir sebagai sengatan kejut-getir yang dahsyat. Fascinans sebab ia membersitkan pesona rindu tak tercakapkan. Setiap kebenaran yang hadir dalam sejarah, memperlihatkan momen terpuncak, tapi unik: Buddha di bawah Pohon Bodh Gaya, Ibrahim dalam Jilatan Api, Musa di Puncak Sinai, Yesus diatas Bukit, dan Muhammad di Gua Hira.

Siddharta Gautama—dari Zaman Aksial yang jauh—memulai pencarian dengan langkah pasti: pergi dalam diam, berangkat tanpa pamit, meninggalkan istana dan kemewahan hidup, memenuhi panggilan nirvana. Ia menuju ke pusat “diri” yang sejauh ini terbekuk semu. Pencarian pada sebilah eksistensi, “yang tidak bergantung pada yang lain, bercacat, dan nisbi.” Sesuatu yang tak dilipat kefanaan. Atau dalam ungkapan Siddharta sendiri, “tidak lahir dalam cara yang biasa, yang tidak pernah diciptakan, dan tidak baharu.” Dan Sang Buddha menemukan puncak-terdalam, sunyata.

Kisah Pencarian tidak berakhir pada Sang Buddha. Ibrahim juga ‘mengelana’ menyingkap rahasia Tuhan dalam hanif. Ia, yang tengah disuluh pengetahuan yang bersilang dari kaumnya, menggaris jalan baru untuk arus keyakinannya yang sublim. Konstruksi Tuhan, yang sejauh ini dililit simulakrum dan imperium tanda, dilumatkan: berhala yang terhimpun dalam kuil umatnya, dihancurkan. Matahari, gemintang, dan bulan pun ditampik. Yang berlangsung di sana sesungguhnya tidak semata penghancuran lempung benda-benda dan tanda, tapi juga mengguyahkan “iman” umatnya yang sejauh ini tersimpan rapi dalam pualam dingin. Sebab itu, Ibrahim ditangkap, diikat lalu dilempar ke dalam unggun penuh bara. Tapi dalam tragedi itulah, Tuhan jadi perihal yang tak terelakkan. Tuhan yang diwartakan Ibrahim, justru Hadir dalam Lidah Api yang menjilat. Namun api itu mengingkari qadarnya. Ia tak membakar. Ia takluk. Dan dalam kaji de Saussure, api itu adalah “signifier” bahwa “Tuhan hadir bersama Ibrahim” (Q.s. 21:69).

Tapi manusia memang tak pupus dirundung tragedi. Tuhan pun tak menampakkan “wajahNya” di hadapan Musa yang terkepung oleh kabut asap, yang lahir dari nyala cahaya api. Serumpun rimbun pun benderang tapi tak terbakar. Seketika Musa, dengan kaki yang berkasut berhenti. Ia tak diberi izin. Dan bukit Sinai berguncang. Sebilah suara kudus mengalir lirih: “Wahai Musa! Aku ini adalah Tuhanmu. Maka tanggalkanlah kedua kasutmu. Sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Thuwah. Dan Aku telah memilihmu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku...” (Q.s. 20:12-14). Musa merengkuh sepenuhnya titah Tuhan. Dan kesepuluh Titah terpahatkan pada Loh.

Tragedi “kabut” Musa, kelak Dionisius menyebutnya sebagai pengalaman “Yang Ilahi” dan tak tercakapkan: Dia “yang tersembunyi”—Deus Absconditus. Setiap ikhtiar menyingkapNya, dalam bahasa pilihan apapun, selalu mengandung paradoks. Sebab itu, Dionisius menyebut kondisi itu dengan, “benderang gelapnya kesunyian yang tersembunyi” (the brilliant darkness of a hidden). Memasuki perjumpaan dengan “Yang Ilahi” sebab itu, memasuki “kegelapan yang benderang”, kondisi di mana seseorang buta terhadap apa yang dilihatnya, tapi dalam kebutaannya justru menemukan pencerahan yang benderang.

Iman, Tuhan, dan sejarah bukanlah sebuah arus sepihak, tapi persilangan yang penuh kisah, tentu saja. Dan sejarah mewartakan bahwa Tuhan adalah episentrum: selalu saja ada gigil yang ganjil dalam rindu menemu Tuhan di setiap detak. “...ide manusia tentang Tuhan memiliki sejarah...gagasan itu selalu punya arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang mengostruknya di pelbagai penggalan waktu...” (Amstrong: 2011;21). Dan kita tahu, tafsir menjadi lalu lintas paham yang tak sedikit menerbitkan silap. Mungkin sebab itu, kita sering menemukan ada selisih dan sengketa dalam praktik berTuhan. Ada amuk dan perang atas nama Tuhan. Radikalisme agama, lalu jadi dalil dalam tindak pemusnahan kemanusiaan.

Dan pada akhirnya, “yang menyangka ada jalan pintas dalam iman akan menemukan jalan buntu dalam sejarah” (Goenawan: 2008;41). Itu sebabnya, selalu ada misterium yang mengitariNya. Jangan-jangan, Tuhan masa depan—seperti lamat-lamat diakui dalam tulisan Amstrong—adalah Tuhan yang “dialami” kaum mistikus: Yang Maha Lain!


Penulis,


Mohd. Sabri AR

Kemusyrikan Esoterik

Di Jalan Cinta semua berhala adalah
isyarat dan tanda...
Karena iman dan kufr
pada Wujud selalu
abadi dan tetap, maka kemusyrikan
dan ketauhidan adalah satu
(Syabistarî)


Syabistarî melontarkan aforisma Cinta yang menggetarkan: ketaatan dan keingkaran adalah satu. Sebab itu, paganisme, kemusyrikan, dan berhala, adalah paras lain dari iman dan ketauhidan. Sebagai seorang teosof-penyair, Syabistarî tengah mengepakkan sayap ‘irfannya, dan kelak menjadi satu genre pemikiran filsafat mistik paling berpengaruh di Abad Pertengahan. Sepilihan antologi puisi mistiknya, Gulsyan-i Râz (“Taman Misteri”), telah meneguhkan Syabistarî sebagai pengagum dan otoritas paling bernas dalam mengurai “semesta tanda” gagas mistik al- Syaikh al-Akbar Muhyî al-Dîn Ibn ‘Arabî. Gulsyan-i Râz (GR) adalah sebuah eksposisi puitik yang rumit dan ganjil, tapi juga amat benderang dalam kilatan intuisi. 

Dalam selarik bait GR, Syabistarî bersenandung: Dilihat dari jarak dan dimensi Tuhan/berhala adalah Kebenaran... Jika kau tak mampu merasakan Kebenaran yang tersembunyi di dalamnya/Lihatlah Tuhan di balik berhala. Doktrin filsafat mistik yang diembuskan Syabistarî, mengandaikan satu sikap: komitmen untuk memahami kebenaran lintas iman adalah aspek terpenting dari ajaran sufi. Metode mistiknya sepenuhnya visioner mencakup kasyf, zawq dan tahqîq atau “realisasi dan pembuktian langsung” terhadap Asal-esoterik, jantung keyakinan seluruh agama dan tradisi autentik. Doktrinnya bersifat transnomian: yang mengandaikan “kemurnian” dan “ketidakmurnian”, “keimanan” dan “kekafiran” bukannya sebuah penghadapan tapi pertautan sublim dan dipandang sebagai tajalli yang aneka dari Wujud Tuhan.

Sufi transnomian adalah ajaran terpuncak dari seluruh aliran Sufi Transendentalis di Abad Pertengahan. Syabistarî, sebagai pentolannya yang paling memukau, menunjukkan adanya kesatuan tujuan penyembahan, “Ketunggalan doxa” di antara kaum politeis dan monoteis dalam menemukan “jejak-abadi” Tuhan. Dua abad kemudian, doktrin Syabistarî merengkuh pikiran sufi Dârâ Syikûh (1615-1659) yang mendaku, “para penganut mistik Hindu adalah monoteis sejati atau muwahhidân-i hind”. Ia juga menyimpulkan, tidak ada perbedaan doktrinal yang esensial antara penganut Hindu dan Sufi Muslim. Sifat eukumenikal doktrin Syabistarî ini, dengan begitu, mengantar kita menyelami pandangan sufi tradisional mengenai “politeisme” dan makna inti politeisme dalam konteks fundamental esoterisme Islam, yakni prinsip Unity of Being atau teomonisme (Wahdah al-Wujûd).

Nafas doktrin Syabistarî berpaut dengan tesis William Blake “Semua Agama itu Satu” yang membela Kristen Unitarian di Kristen Barat. Tampaknya, konsep sufi tentang “kesatuan mistik agama-gama” memungkinkan terbangunnya integrasi, harmoni, dan toleransi terhadap doktrin-doktrin Vedanta Hindu, Zen Bhuddisme, Kabbalisme Yahudi dan Mistisisme Kristen—ketimbang terhadap Islam eksoterik. 

Teori “kemusyrikan esoterik” Syabistarî, menemukan pijakannya yang kukuh dalam doktrin “Kesatuan tajallî agama-agama berdasar pada Kesatuan Transendental Tuhan”. Dalam menjelaskan ide ini, Syabistarî mengadopsi posisi visioner murni. Ia mengajak pengikutnya untuk menyobek tabir aneka warna dan merasakan secara langsung ontologis “Cahaya Putih Keabadian” lewat patung-patung dan arca, dalam setiap ‘sesembahan’ agama, untuk menyaksikan visio Dei. Dalam permenungan Syabistarî, agama, sebab itu adalah “Penglihatan” (Vision) langsung; iman bukanlah dogma melainkan “penyingkapan”.

Meski penyembahan berhala politeistik adalah suatu warna yang berbeda dengan warna monoteisme, tapi keduanya berasal dari Cahaya Tunggal. Setiap konstruksi iman, ibarat sebersit cahaya yang memantul melalui prisma dan mentransformasikan Cahaya Tuhan ke dalam aneka warna ide—di mana ide-ide tersebut sekaligus menguburkan dan menyelubungi Cahaya Tuhan. Pemahaman terhadap aneka warna tajallî Tuhan ini adalah bagian dari misi religiusitas seorang sufi. Karena ‘warna-jiwa’ berbeda dalam setiap individu, maka mistikus mesti mengakui konsekuensi apa yang disebut Zaehner sebagai concordant discord: “perbedaan-perbedaan harmoni” dari pelbagai sistem keimanan.

Syabistarî, sebagaimana Ibn ‘Arabi, mengingatkan jika “kemusyrikan esoterik” dalam bentuk penyembahan esoterik berhala atau ‘kemungkaran yang benar’ adalah sebuah konstruksi iman yang hanya dapat “dialami” kaum gnostik, dan tidak untuk yang lain. “Seorang gnostik sejati mengakui Tuhan dalam setiap bentuk manifestasi-Nya, sementara aliran non-gnostik mengakui Tuhan hanya dalam satu bentuk yang diyakininya dan menolak Tuhan yang termanifestasikan dalam bentuk yang lain” (Futuhat III132.24). Syabistarî, tanpa bimbang, banyak memetik inspirasi dari Ibn ‘Arabi tersebut, khususnya ketika menyatakan, bahwa semua cinta pada akhirnya Cinta Tuhan: bahwa setiap keinginan berada di bawah Satu Kekasih yang Transendental (One Transcendental Beloved).

Syabistarî, dalam degup sunyi yang debar mendaku, “Tuhan tampak dalam seluruh bentuk dan citra. Di antara penampakan dan bentuk tersebut, ada yang memakai selubung berupa berhala...sebagaimana diungkapkan dalam kalam-Nya: “Ke mana pun engkau menghadap, di sana ada Wajah Tuhanmu” (QS. 2:15). Sebab itu penyair Sufi, Magribî menyatakan keriangannya dalam gazal: “Dalam kuil Somnath/penyembah-penyembah berhala tidak lain memuja/Keindahan-Mu yang abadi//Dari Lâta dan Manât/Kecantikan-Mu memancar pula/Pada orang-orang kafir itu/Yang dengan cinta tersungkur bersujud.”


Penulis, 


Mohd. Sabri AR

Meraba “Wajah” Tuhan

Dari abad ke-7 Hijriyah yang beku, teosof Ibn ‘Arabi bersenandung: “Penampakan Tuhan paling sempurna terjadi pada diri perempuan.” Sebuah dentuman yang mengguncang, di tengah kuatnya arus otoritarianisme religius kaum laki-laki. Pernyataan Ibn ‘Arabi dalam Fushûsh al-Hikâm, itu lebih merupakan aksara yang menyimpul: tajalli, sebuah doktrin ‘irfani tentang citra, penampakan, dan “manifestasi” Tuhan.

Perempuan dan laki-laki ibarat “sepasang tangan” Tuhan yang solid. Sachiko Murata menggambarkan dua aspek ini sebagai “yin-yang” yang bergerak tak kenal henti dan saling mengisi. Lingkaran putih mengandung unsur hitam dan terkontaminasi olehnya. Sebaliknya, lingkaran hitam mengandung unsur putih, dan tak dapat menampik kehadirannya. Relasi keduanya bahkan melampaui “oposisi biner” yang memprioritaskan satu hal di atas yang lain.

Dalam alegorisma Ibn ‘Arabi, relasi laki-laki dan perempuan adalah relasi yang penuh ketegangan, tapi juga harmoni: jika laki-laki adalah “Langit” yang memberi, maka perempuan adalah “Bumi” yang menerima. Langit membutuhkan Bumi, karena tanpa Bumi apalah arti curah hujan dan pesona gemintang di malam sepi. Demikian pula Bumi yang reseptif: begitu mendamba aliran rahmat dan pancaran yang tercurah dari Langit. Tapi, ini tidak dengan sendirinya bermakna jika Langit lebih unggul dari Bumi. Sebab, menurut Ibn ‘Arabi, Langit hanyalah rongga raksasa yang tak berisi apa-apa kecuali kekosongan. Karena itu Langit amat haus akan Bumi. Sementara Bumi mengandaikan kepenuhan dan keberlimpahan. Bumi mengandung banyak hal yang invisible, meski ketakterlihatannya itu justru menjadi “kekuatan” tersendiri baginya.

Tapi, bagi Ibn ‘Arabi, perempuan bukan Rahasia yang sepenuhnya tertutup dan invisible, karena dia adalah Materi. Berbeda dengan laki-laki yang identik dengan Ruh. Perempuan ibarat “raga” yang merawat kehidupan sementara laki-laki identik dengan “nyawa” yang memberi kehidupan. Kendati demikian—lagi-lagi catatan Ibn ‘Arabi—meski perempuan adalah Materi, (ada kedekatan mother ‘ibu’ dan matter ‘materi’), ia adalah materi yang immateriil. Perempuan, dalam sifatnya yang terindrai, adalah juga Rahasia yang tak teraba. Sebab, dalam diri perempuan Tuhan menancapkan keajaiban agungnya, dalam wujud kasih, yang mentransmisikan langsung sifat Rahman-RahimNya.

Kini relasi laki-laki-perempuan, tengah terkoyak dalam kehidupan kontemporer kita. Perempuan menderita sekian banyak pelecehan dan diskriminasi. Wajah perempuan adalah tanda kerentanan. Kapitalisme telah “merobek” Wajah itu melalui komodifikasi, iklan, dan advertensi. Sementara budaya patriarki bergerak mendistorsi Wajah itu lewat agama dan budaya yang tak ramah pada perbedaan. Melalui doktrin sufistiknya, Ibn ‘Arabi sejatinya hendak mengatakan, “Dengan penghormatan dan cinta kepada yang lain, hidup akan terasa indah”. Dan, pada detak inilah, akan terasa “kehadiran” Tuhan pada diri perempuan.


Penulis,


Mohd. Sabri AR
 

MASA DEPAN TUHAN

Postscriptus yang menggetarkan. Akhir yang menggugat: masihkah Tuhan punya masa depan? Pesan itu seolah hadir untuk mengoyak ketertiban iman, “maybe God really is an idea of the past,” begitu pendakuan Karen Amstrong dalam bab terakhir bukunya The History of God. Buku yang lahir dari survei yang ketat dan genial: bagaimana manusia, sepanjang tak kurang dari 4000 tahun, merumuskan Tuhan. Tuhan masa lalu adalah Tuhan yang memiliki peran decisive dalam segaris sejarah manusia yang beku. Tiga pilar wiracarita soal Tuhan pun diluahkan dalam narasi mitos, kitab suci, dan sains. Masing-masing punya argumen yang riuh. Tak ada mufakat. Saling debat. Satu-satunya yang secara nisbi bisa diterima tanpa jejak pertikaian: bahwa Tuhan ditemukan dalam aksara lalu diekspresikan dalam jagad tanda yang jamak.

Namun, haruskah ini berarti jika Tuhan akan tetap memainkan peran “masa lalu”Nya untuk masa kini dan masa depan? Apakah “paham” tentang Tuhan masa lalu akan tetap bertahan dalam sebilah keyakinan dan tersimpan rapi dalam pualam dogma yang beku? Amstrong, lagi-lagi bersikukuh dengan temuannya, setelah dengan benderang menghamparkan zeit geist masa kini yang suram: aneka kekerasan dan perang, kehancuran lingkungan, demoralisasi, penyakit AIDS yang tak tersembuhkan, penduduk yang kian eksplosif, kelaparan dan kekeringan, hingga agama—yang sejauh ini menjadah wadah paling sublim mempercakapkan Tuhan—justeru jadi institusi yang memupuk pertikaian panjang. Dalam huru hara zaman seperti ini, masihkah paham tentang Tuhan bermakna dan bisa dipertahankan? Keraguan, menjadi kabut dalam jawaban Amstrong.

Iman, Tuhan, dan sejarah bukanlah sebuah arus sepihak, tapi persilangan yang penuh kisah. Dan sejarah memberi tahu bahwa Tuhan adalah episentrum: selalu saja ada detak yang rindu untuk menemu Tuhan setiap waktu. “...ide manusia tentang Tuhan memiliki sejarah...gagasan itu selalu punya arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang mengkostruknya di pelbagai penggalan waktu...” (Amstrong: 2011;21). Dan kita tahu, tafsir menjadi lalu lintas paham yang tak sedikit menerbitkan tubrukan. Mungkin karena itu, maka kita sering menemukan ada selisih dan sengketa dalam praktik berTuhan. Ada amuk dan perang dalam nama Tuhan. Dan fanatisme agama menjadi titik dalih dalam tindak pemusnahan kemanusiaan.

Tuhan di masa depan, mesti keluar dari dinding simbol, citra dan simulakrum tanda. Ide tentang Tuhan masa depan mengandaikan sikap rendah hati, intersubyektif dan pos-dogmatik. Dan pada akhirnya, “yang menyangka ada jalan pintas dalam iman akan menemukan jalan buntu dalam sejarah” (Goenawan: 2008;41). Sebab itu, selalu ada misterium yang mengitariNya. Jangan-jangan, Tuhan masa depan—seperti lamat-lamat diakui dalam tulisan Amstrong—adalah Tuhan yang “dialami” kaum mistikus?


Penulis,


Mohd. Sabri AR

Sunday, 2 March 2014

“Tingkah Laku Unik Seorang Professor”



“Seluruh Caleg dan partai Politik diminta oleh KPU menyetorkan anggaran yang digunakan selama kampanye, pemasukan data berakhir pada bulan Maret depan...” suara itu semakin membesar, seolah-olah menusuk masuk dalam telingaku. Kubuka mataku, meskipun aku masih setengah sadar, terlihat disudut sana sebuah bayangan yang berwarna-warni ditemani dengan kata-kata tersusun rapi. Ku angkat kepalaku, kira-kira kurang lebih 15 derajat dan mataku pun terbelalak, ternyata suaru itu berasal dari sana, suara presenter berita Metro TV. Ku usap mataku, ku kerahkan semua konsentrasiku di pagi itu, aku pun melihat sesosok lelaki yang tengah ayik menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok, ia adalah senior kami di UKM. Ia begitu asyik menikmati tontonan di pagi itu. meskipun aku merasa terusik dengan suara berita yang begitu besar. Tak apalah, tak mungkin aku membentak seniorku, lagi pula saat itu sudah sangat pagi.
Sontak aku melirik jam yang ada di handphone-ku, hari itu, jam telah menunjukkan 07.45 Wita. Oh my god! oh godnest! Kata inilah yang sempat terucap dari bibirku, segera mungkin, aku beranjak dari pembaringan. Sikap cekatan pun menjadi langkah taktis di pagi itu. aku tidak tahu lagi apa yang harus kusimpan dan apa yang harus kuambil. “Magako Hatu?” salah satu dari temanku di sekret pun menegurku, tetapi itu hanyalah teguran, tak kuhiraukan, dalam pikiranku hanya terbersik wajah dosen yang sudah mengajar di kelas. “Aduuuhh, terlambat kah lagi ini.” sambil menyiramkan air dikepalaku, kata ini kian menemaniku di kamar mandi. Akhirnya selesai juga, meskipun mandi ala kebo, yang jelas di pagi itu aku mandi, tak kuhiraukan kata orang, yang penting aku senang, aku menang.
Lagi-lagi tetap dalam kondisi siap siaga, sikap cekatan yang paling mancur saat ini. aku melangkah menuju fakultas, entah itu langkah marmut, kecoa, singa,  tikus, semut sekalipun aku tidak peduli yang terpenting adalah sampai di kelas tepat waktu. Maklum sedikit jadi mahasiswa teladan. Anak tangga yang puluhan itu ku jadikan tingkat satuan, betapa tidak kelas kami di pojok sana, alias MKU, bosan terus belajar dengan suasananya seperti ini. “Assalamau alaikum!” , sial! Ternyata oh ternyata dosen belum datang juga, tapi sebuah kesyukuran juga karena aku tidak terlambat.
Selang beberapa menit, sesosok wanita dengan tentengan yang penuh di kedua tangannya, melangkah menuju kursi panas, begitu temanku menyebutnya, alias kursi dosen. Aku juga tidak tahu kenapa teman-temanku menamainya kursi panas. Lanjut cerita, dia adalah dosen kami yang mengajar di pagi itu, sebut saja Dr. Gusnwaty, M.Hum., dialah dosen favoritku, kedekatannya dengan mahasiswa menjadikan dia sebagai dosen terfavorit. Apalagi dia itu adalah salah satu dosen pembimbingku di Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Mohon doa restunya semoga dapat sampai ke Pimnas, amin! Oh my god! Kenapa ini yang saya ceritakan, bukan maksud untuk pamer, tetapi sekedar sharing aja teman-teman.
Lanjut Guys! Mata kuliah pun sudah berakhir, dosen sudah beranjak dari tempatnya, belum beberapa menit dosen kami keluar, kegaduhan pun dikelas mulai tak terelakkan, lagi-lagi kaum hawa yang memulai, alias ngegosip, sepertinya tidak sah, kalau mereka tidak teriak-teriak seperti itu. Padahal jika dilihat di sana tidak ada sungai deras, mungkin itu sebuah ritual para kaum-kaum hawa, pikirku.
Siang itu, tepatnya pukul 10.00 Wita kusempatkan untuk berdiskusi dengan salah satu orang teman, ia dari golongan kaum hawa, namanya Sarnia, ia terbilang cukup cerdas dikelas kami, karena pandangan-pandangannya begitu bijak, selain itu ia juga orangnya alim. Diskusi kami belum berakhir dosen yang mengajar jam kedua sudah masuk dalam kelas, ditemani dengan tas yang dibopongnya. LCD yang kian menemani kami dalam belajar, telah terpasang dengan rapinya, dosen pun membuka perkuliahan saat itu, dengan membacakan satu-satu tulisan mahasiswa yang telah dikirim via email. Kami dibuatnya malu-malu karena tulisan kami dipampan nyata, mahasiswa kemudian membacanya satu persatu.
Mendengarkan dosen menjelaskan memang sudah menjadi tradisi akademik, pikirku dalam hati. Aku duduk pas di depan dosen, segala konsentrasiku terfokus pada satu masalah tentang bagaimana penulisan kreatif. Tiba-tiba sesosok lelaki tua dengan rambut yang putih, dilengkapi kemeja putih, cekatan masuk ke dalam kelas memegang penghapus dan menatap ke laptop dosen yang mengajar saat itu. “Saya mau pinjam penghapus.” Hanya itu yang terucap dari bibirnya. Sontak dosen menjawab “Kita pinjam saja Prof.” ia pun berlalu dari pandangan kami. serentak satu kelas di penuhi gelegar tawa, dosen yang mengajar juga ikut tertawa. Betapa tidak seorang dosen bergelar Prof. dan guru besar, masuk kedalam kelas tanpa salam, tiba-tiba ingin meminjam penghapus membuat penghuni kelas sontak kaget. Kami mengira Prof. kami itu ingin menyampaikan hal penting kepada dosen pengajar waktu itu.
Kejadian ini bukan hanya terjadi satu kali, sempat juga kejadian yang sama dialami oleh bapak Edward L. Poelinggomang, waktu itu ia mengajar dengan seriusnya tiba-tiba Prof. ini masuk, dan hendak meminjam penghapus juga. Dosen bersangkutan hanya mengiyakan, meskipun kami juga butuh penghapus. Sebuah tingkah laku unik yang dilakukan oleh dosen berkelas guru besar. Lanjut cerita, momen ini pun menjadi tugas kami dari bapak dosen untuk menceritakan kejadian tadi, meskipun aku sebenarnya sudah tidak kuat lagi melanjutkan perkuliahan, masih terngian tingkah laku Prof. itu. Sebuah kelucuan tetapi tak apalah, memang dari sisi manusia ada hal-hal unik yang tidak diketahui oleh sebagian orang. Akhirnya, perkuliahan berakhir, kejadian tadi tak henti-hentinya menjadi buah bibir bagi mahasiswa.

Penulis,
Makassar, 1 Maret 2014


Anaruddin

AKUNTABILITAS DALAM KEPEMIMPINAN AKADEMIS



“Akuntabilitas dalam Kepemimpinan Akademik”, seperti itulah tertulis di spanduk yang terpampang nyata sebelum masuk di pintu Aula Prof. Mattulada. Sebuah tema dalam dialog yang dilaksanakan pada hari Senin, 24 Februari 2014 diinisiasi oleh dosen-dosen Fakultas Sastra, karena kekhawatirannya terhadap kepemimpinan di Fakultas Sastra. Munculnya krisis kepemimpinan di birokrasi kampus melatar belakangi terselenggaranya kegiatan ini. Para dosen yang tergabung dalam aliansi ini, menjadikan kegiatan ini sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi dan penolakan terhadap sistem kepemimpinan yang diterapkan oleh pimpinan fakultas. Mereka menganggap bahwa cara ini merupakan bentuk protes yang bermartabat dan beradab. Akan tetapi, sayang seribu sayang kegiatan ini tidak dihadiri oleh salah satu perwakilan dari pimpinan fakultas, sehingga sedikit mengundang kekecewaan dari sebagian audiens yang hadir saat itu.
Dialog yang dilaksanakan kurang lebih tiga jam ini, menghadirkan Dr. Mardi Adi Armin, M.Hum sebagai moderator untuk memandu jalannya dialog. Selain itu, menghadirkan pula budayawan tenar di kota Daeng ini, yaitu Ayahanda Drs. Ishak Ngeljaratan, M.S., beliau adalah mantan dosen senior di Fakultas Sastra. Hadir pula pembicara kedua, bapak Prof. Sadly, AD., M.PA., beliau adalah mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Sekarang beliau telah menjabat sebagai Rektor Universitas Fajar Makassar. Moderator kemudian memberikan kesempatan pertama kepada Prof. Sadly, AD., M.PA. untuk menyampaikan beberapa gagasannya berkaitan dengan sistem kepemimpinan di birokrasi kampus. Ada beberapa hal yang menjadi pokok bahasan yang disampaikan beliau dalam gagasannya, bahwa university government sangat dibutuhkan sikap akuntabilitas dan transparansi. Ketika kedua hal ini, telah dimiliki oleh seorang pemimpin di dunia kampus maka akan terwujud sebuah kepemimpinan tranformasional. Beberapa tanda ketika pimpinan universitas, fakultas, dan jurusan telah memiliki sikap ini maka: (1)mereka akan membumi menyatu dengan bawahannya, (2)tidak memokuskan perhatian terhadap satu orang saja (atensi). (2) mendorong bawahan untuk berkembang agar dapat tercerdaskan dan menghasilkan hal-hal yang inovatif.
Bapak Prof. Sadly, AD., M.PA. juga menyampaikan gagasan berdasarkan pengalamannya selama menjadi pimpinan universitas dan fakultas. Beliau mengatakan bahwa kepemimpinan dalam lingkungan kampus dibutuhkan juga sistem evaluasi, minimal dua kali satu tahun. Evaluasi ini dimaksudkan untuk membenahi kekurangan-kekurangan yang dilakukan oleh pimpinan universitas, fakultas dan jurusan. Sehingga ke depannya dapat dilakukan perbaikan. Beliau juga mengungkapkan bahwa jangan pernah takut untuk dikritisi, karena kritikan itulah menjadi bahan seorang pemimpin untuk membenahi kekurangan selama priode kepemimpinannya. Selain itu, evaluasi bukan untuk menjatuhkan tetapi menjadi pondasi dalam melakukan hal-hal inovatif ke depannya. Di samping itu, evaluasi yang dilakukan bukan hanya menghadirkan anggota senat universitas atau fakultas, tetapi semua elemen yang terkait di dalamnya harus dilibatkan termasuk para dosen dan mahasiswa. Mahasiswa dilibatkan dalam evaluasi ini, karena mahasiswalah yang sangat paham dan mengalami kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh pimpinan fakultas. Sehingga, sangat dibutuhkan aspirasi dan gagasan-gagasan mahasiswa. Hal ini juga bertujuan untuk, mengader mahasiswa sebagai calon pemimpin dimasa akan datang.
Gagasan-gagasan yang disampaikan bapak  Prof. Sadly, AD., M.PA. mengundang tepuk tangan yang sangat meriah dari para audiens, sungguh sistem kepemimpinan yang sangat ideal. Moderator kemudian mempersilahkan Ayahanda Drs. Ishak Ngeljaratan, M.S. menyampaikan gagasan-gagasannya. Di dalam tulisannya beliau mengatakan bahwa “akuntabilitas” punya kaitan erat dengan “kebebasan manusia”. Adanya kebebasan manusia ditandai oleh adanya pilihan-pilihan yang diambil oleh manusia untuk bertindak ke depan. Singakatnya, dimana ada pilihan, disitu ada ikatan pada apa yang sudah dijadikan pilihan. Ikatan pada pilihan oleh subjek, yang menentukan pilihan itu secara sadar dan bebas, sama dengan tanggung jawab (responsibility). Jika tanggung jawab (responsibility) itu melibatkan kepentingan orang lain, maka tanggung jawab itu disamakan dengan akuntabilitas (accountability). Seorang pemimpin yang bertanggung jawab harus mampu menjawab “mengapa” dia memilih “ini” dan bukan “itu” secara “terang benderang”. Karena itu, akuntabilitas selalu bersifat tansparan (transparent). Jika pilihan salah atau benar, maka dialah yang bertanggung jawab atas kesalahan atau kebenaran dari pilihannya.
Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa seorang pemimpin itu harus punya sikap integritas dari sejumlah sifat-sifat keilahian (divine quality). Sebagai seorang yang berakal budi , seorang pemimpin harus terus menerus memperluas pengetahuannya (knowledge) dan memperdalam wawasannya (insight) untuk meningkatkan kompetensi rasional dalam dirinya. Sehingga seorang pemimpin harus terus berusaha membudidayakan pengetahuannya, bukan hanya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga bagi manusia dan kemanusiaan.
Selanjutnya, beliau mempertegas tentang sikap keseimbangan rasio dengan nurani yang meski dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena menurut beliau, Meskipun seorang pemimpin memiliki kualitas atau kompetensi rasional, akan nihil hasilnya ketika tidak diimbangi dengan kompetensi moral. Seorang pemimpin harus memiliki akhlak yang mulia, dalam budaya Bugis-Makassar, dikenal dengan sifat rasa malu dan tanggung jawab untuk menjaga harga dan kehormatan dirinya sebagai manusia dan pemimpin. Sehingga, harga diri yang dibentengi dengan baik dan efektif akan mengundang masyarakat untuk memilihnya sebagai pemimpin. Dipilihnya dia oleh masyarakat sebagai pemimpin berarti masyarakat ingin memikulkan harga diri mereka sebagai tambahan beban mulia pada dirinya sebagai pemimpin yang sudah berhasil menjaga harga dirinya sendiri. Beban harga dirinya bertambah berat ketika harga diri masyarakat dibebankan dipundaknya. Masyarakat, yang sadar akan beratnya beban tambahan pada pemimpinnya, dengan ikhlas dan penuh sayang “mengusung” atau menggotong pemimpinnya secara ramai-ramai. Namun, jika harga diri pemimpin tak mampu dijaga oleh sang pemimpin sehingga citra harga diri masyarakat turut tercemar, maka sang pemimpin pun dipental keluar oleh masyarakat dari usungan jika tak sadar dan siap untuk mengundurkan diri secara ikhlas.
Beberapa narasumber telah mengutarakan gagasan-gagasannya berkaitan dengan kepemimpinan di dunia kampus. Jika dilihat dari gagasan-gagasan di atas, ada banyak hal yang bisa menjadi bahan renungan dan evaluasi khususnya bagi para pemimpin di Fakultas Sastra. Berbenah dari awal merupakan langkah taktis untuk membenahi semua kekurangan-kekurangan selama ini, sikap ego mesti dihilangkan dan mengedepankan kepentingan fakultas di atas segalanya. Harapan terbesar dari seluruh civitas akademika Fakultas Sastra Universitas Hasnuddin adalah begaimana Fakultas Sastra bisa ditranspormasi ke Fakultas Ilmu Budaya, yang selama ini masih terkapar di rimbah raya, tidak diketahui dimana ujungnya. 

Penulis,
Makassar, 1 Maret 2014


Anaruddin