Menghimpit dada yang
terkungkung
Menghela napas yang sesak
Kau yang ada dibalik di
jeruji itu
Terdengar suara riuk-riuk
yang hampa
Saudaraku di balik jeruji besi
Tak usah gusar, menunggu
sang mentari
Fajar akan datang disaat
purnama terlelap
Tak usah putus asa, menunggu
bintang-bintang dimalam hari
Bulan akan datang disaat
Senja kelelahan
Engkau yang di balik dijeruji
Menengadahlah pada sang Ada
Bercinta ditahajud malam
yang dingin
Ditemani tetesan air mata
penyesalan
Adalah penawar dari
kekhilafan yang ada
Penantian yang panjang
Penebusan yang tak mungkin
dijumlahkan
Kebebasan akan datang,
menyertai nafas dalam raga
Saudaraku
di balik jeruji
Jika
tiba masanya,
Engkau
merangkul sang mentari dipagi hari
Melepaskan
tirai-tirai keterbatasan
Kau
pulang, setelah pergi selama bertahun-tahun
Di
pintu rumahmu, kau telah dinanti
Engkau
akan menemukan senyuman merona dari sanakmu
Masa
yang terbuang di dalam jeruji
Hari
itu, kau pun mulai bisa bercumbu dengan keluargamu
Saudarkau
di balik jeruji
Jika
masa itu telah tiba
Janganlah
kau lupa, kenangan kita
Tak ada
lagi canda tawa dimalam hari
Tak ada
lagi hitungan 1, 2, 3, hingga 8
Tak ada
lagi senam pagi dijam 7
Tak ada
lagi panggilan dari pembesar suara
Saudaraku,
aku merindukanmu, cukup itu saja
Saudaraku
di balik jeruji
Jika
tiba masanya
Sejujurnya,
aku tak ingin melihatmu lagi
Janganlah
engkau kembali ke tempat usang ini
Setelah
engkau meninggalkanku
Kau
tahu ??? itulah doaku
Kau
yang di luar sana
Aku
ingin katakan
Pesan
leluhur Bugis pernah terngiang di telingaku
“Tettokko ri tongennge, Ajak Mutettong
ri Kapangnge, pabbiasai alemu ri decennge, nasaba lele bulu tellele abbiasang,
lelemua abbiasannge, abbiasang topa pelelei”
Pinrang, 27 April 2018